esai,  kuliner

Tentang Memakan Cabai

menggigit cabai (gambar dari detik.com)
menggigit cabai (gambar dari detik.com)

Keriuhan persoalan kenaikan harga cabai membuat saya mengecek kembali hubungan kekerabatan saya dengannya. Soalnya, cabai pernah masuk ke dalam jenis makanan yang selalu saya hindari.

Saya mulai akrab dengan cabai sejak mengenyam bangku kuliah. Tanpa cabai, makan siang saya tidak berwarna. Piring akan hanya berisi segepok nasi, sebaris tempe, dan kubangan kuah sayur tanpa rasa. Kedatangan cabai, dalam bentuknya yang mentah maupun yang sudah diolah dan dinamai leluhur dengan nama sambal, menjadikan suap demi suap makanan saya terasa lebih nikmat.

Perkenalan pertama saya dengan buah cabai sebetulnya tidak sengaja. Kala itu, saat usia sudah membuat saya tak mampu lagi berpura-pura menjadi siswa dalam kostum OSIS SMA, gigi saya tidak sengaja menghantam cabai rawit yang menjadi isian combro. Saya, yang tak siap dengan serangan mendadak itu, segera berlari kemudian menenggak habis dua gelas air putih yang warnanya tidak putih. Dengan mata setengah terpejam dan bibir memar, saya merasa seperti pesakitan yang sedang mengulum pintu neraka. Anehnya, tragedi itu justru membuat saya ketagihan mengonsumsinya. Persis seperti peristiwa malam pertama. Kali pertama adalah sakit. Setelahnya? Rangkaian kenikmatan.

panas pedas (gambar dari goac.eh.ac)
panas pedas (gambar dari goac.eh.ac)

Sejak saat itu hingga sekarang, saya telah merasai bermacam-macam cabai. Dari kegenitan kecil dalam percobaan mengicipi saus jalapeno, keisengan mengeramus aneka paprika (betul, ia masih masuk keluarga besar cabai), hingga melalap sambal-sambal yang rasanya luar biasa. Mereka menghiasi kunyah demi kunyah yang saya antar dari piring makan yang pernah berisi lauk bintang lima hingga lauk penganan yang rasanya seperti makanan penjara.

Seperti kebanyakan hal dalam hidup, saya menerima cabai sebagai sesuatu yang dianugerahkan cuma-cuma. Tak pernah terlintas kalau sekarang kenaikan harga cabai bisa berpengaruh pada hajat hidup rakyat banyak. Saya kira yang berpengaruh pada hajat hidup rakyat banyak hanya persoalan mengeruk barang tambang dari perut bumi.

Oleh karena itu, saya betul-betul gembira waktu keinginan saya mengenali cabai lebih dalam bersambut dengan ketidaksengajaan menemukan sebuah artikel yang membahas serba-serbi cabai. Ketika membuka jejaring facebook, seorang teman membagikan tautan artikel itu di antara ratusan tautan lain yang dibagikan oleh teman-teman saya yang budiman. Untung saja, mata saya cukup jeli melihat post itu.

Saya menyebut diri saya beruntung karena teman-teman saya yang budiman itu lebih dari gemar menebarkan keyakinan mereka setiap hari. Dari mulai kepercayaan bahwa gambar dua buah perkakas tukang sangat berbahaya bagi persatuan dan kesatuan masyarakat hingga anjuran untuk tidak mempercayai media massa tertentu. Dan oleh karenanya, mereka tak pernah berhenti membanjiri beranda facebook saya dengan ratusan hingga ribuan artikel yang mendukung keyakinan mereka. Percayalah, stamina mereka sungguh “joss” walau tanpa “bukak sithik” dalam urusan itu.

Saya sendiri tidak sepakat dengan mereka. Tapi, saya juga malas kalau diminta adu argumen. Mereka sangat teguh memegang kepercayaan itu. Dan kau tahu, tipe orang seperti ini memang lebih baik tidak dihadapi. Sudah sia-sia, melelahkan pula. Menguras laut menggunakan tutup pasta gigi jauh lebih berguna.

Karena sedang tidak ingin menguras laut memakai tutup pasta gigi, saya kemudian mengklik tautan teman saya itu. Dari sana, saya mengetahui beberapa trivia cabai yang membuat saya terpesona.

Pertama, benar belaka kalau cabai bisa membuat ketagihan laiknya seks. Kapsaisin, yang dikandung cabai, memberikan sensasi pedas yang secara refleks menyebar dari lidah ke leher, wajah, dan dada lalu memicu aliran endorphine. Endorphine bersifat sebagai morphine alami yang mendorong tubuh bereaksi aktif. Selain mencaplok cabai, endorphine biasanya muncul ketika seseorang merengkuh orgasme. Orang yang kecanduan mengunyah cabai sebetulnya rindu sekresi endorphine.

Kedua, memakan cabai tidak menyebabkan tukak lambung atau infeksi pencernaan. Luka di pencernaan bisa disebabkan infeksi oleh bakteri Helicobacter Pylori atau akibat konsumsi obat inflamasi non steroid. Sementara, konsumsi makanan pedas hanya memperparahnya. Fakta ini menghancurkan mitos bahwa cabai bisa menggerus dinding lambung, walaupun tidak berpengaruh apa-apa terhadap mitos bumi datar dan Adolf Hitler adalah keturunan alien.

Ketiga, rasa pedas pada cabai dihasilkan oleh kapsaisin. Selain pedas, kapsaisin juga membuat kita menangis. Soalnya, kapsaisin merangsang serabut sistem saraf pusat yang mengendalikan kuantitas dan kekentalan lendir serta cairan lain yang disekresi dalam tenggorokan dan kerongkongan. Makin besar kandungan kapsaisin dalam cabai yang dimakan, makin banyak pula cairan yang keluar dari mata, hidung, atau lidah.

Lalu, dalam satu subjudul yang sama, dijelaskan bahwa rasa pedas pada cabai juga bisa diukur dengan skala. Satuannya adalah Scoville. Makin besar skala Scoville, makin pedas cabai itu. Saya membaca daftar yang cukup panjang tentang berbagai varian cabai dan berapa skala kepedasannya dalam Scoville.

Kepedasan rata-rata cabai di Indonesia masih di bawah 100.000 Scoville. Yang lebih dari 100.000 pada Skala Scoville biasanya berasal dari luar Indonesia, seperti Scott Bonnet, Thai, atau Habanero. Predikat cabai paling pedas masih dipegang Bhut Jolokia. Rasa pedasnya, jika diukur, mencapai lebih dari 1.000.000 Scoville. Artinya, walau 1 gram Bhut Jolokia sudah dicampur dengan 1000 liter air gula (sama dg 5 bak mandi standar), masih akan terdeteksi rasa pedasnya.

Keempat, rasa pedas dari cabai biasa digunakan untuk menyiksa. Dulu, Orang Indian menggunakan cabe untuk menyiksa tawanan sementara militer menggunakan saripati dari kapsaisin untuk mengontrol kerusuhan. Sekarang, beberapa gerai mie mendapatkan uang dengan menyiksa pengunjungnya dengan cabai.

Kelima, kapsaisin larut dalam lemak. Jika kamu kepedasan, hal yang paling baik dilakukan adalah meminum susu atau yoghurt karena mereka mengandung lemak. Memadamkan lidah yang kepedasan dengan air putih, sebagaimanapun heroiknya, adalah tindakan percuma.

Saya menutup artikel itu setelah membacanya dua kali. Beranda  facebook kemudian menyapa saya dengan deretan post dari teman-teman saya yang budiman. Mereka sungguh berbaik hati mengingatkan semua orang untuk mengawal sidang kasus penistaan, seruan dukungan kejayaan terhadap sebuah ormas, dan, sekali lagi, mengingatkan bahaya penggunaan dua alat tukang yang gambarnya, menurut mereka, tercetak pada lembaran uang kertas.

Tapi, kali ini saya lebih riang membacanya. Mengapa demikian? Karena saya sudah berhasil menemukan kembali akar kekerabatan saya dengan cabai sekaligus bisa mengenalnya lebih dalam. Selain itu, saya akhirnya punya resep jitu jika suatu saat terpaksa berdebat dengan mereka.

Caranya? Mudah saja. Alih-alih lelah berdebat di post facebook, saya akan ajak mereka duduk bersama sebelum menyuguhkan Bhut Jolokia dan membiarkan mereka tenggelam dalam ingus masing-masing.

memikirkan cabai sambil diliputi kesegaran udara sekitar

post scriptum: Disarikan dari Why do Men Have Nipples? Hundred of Questions You’d Only Ask A Doctor After Your Third Martini karangan Mark Leyner dan Billy Goldberg

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *