perjalanan,  upakyana

Keroncong Sebelum Kereta

Pengasong Keroncong di Stasiun Semarang Tawang

Mulanya adalah sebuah sore di Stasiun Gambir. Saya terlalu cepat tiba dan lantai dua gedung itu masih begitu lengang. Hanya ada penjaja makanan dan buku yang berbincang dengan dagangan masing-masing.

Lalu, tak seberapa lama, lima orang yang mengusung gitar, bas, biola, dan ukulele cak, datang dan mencolokkan kabel ke pelantam suara. Usai salam dan perkenalan singkat, mereka mulai memetik, menggesek, serta bernyanyi. Lagu pertama yang mereka nyanyikan adalah Can’t Help Falling In Love. Tembang terkenal gubahan Elvis Presley itu mereka bongkar habis-habisan. Jika biasanya saya mendengarnya dalam aransemen pop atau jazz, mereka memainkannya dalam pakem yang sungguh mati bakal saya cinta betul hingga beberapa tahun setelahnya: keroncong.

Saya baru mengenal keroncong medio 2008. Ketika itu, teman satu kos saya memperdengarkan satu album dari legenda keroncong Indonesia, Gesang. Caranya memperdengarkan cukup ciamik. CD berisi mp3 diputarnya keras-keras dan satu kantong teh ia seduh dalam sebuah cangkir. Lalu, sambil menyesap teh beraroma melati, ia berkata pada saya, “Beginilah cara menikmati hidup: duduk, minum teh, dan mendengarkan keroncong.”

Tergoda dengan rayuannya, saya kemudian mendengarkan album bertitel “Keroncong Asli Gesang” secara penuh. Aduhai, betapa teman saya tidak berbohong bahwa keroncong memang diciptakan untuk menjauhkan hidup dari keruwetan. Gesekan biola dan petikan ukulelenya membuat saya lebih rileks. Apalagi jika dinikmati sambil duduk di beranda dengan menggenggam koran, meminum teh, dan memandangi selawar daging senja. Saya bisa merengkuh damai dalam suasananya.

Sejak saat itu, keroncong punya tempat tersendiri di hati saya. Pada ketenangan dan kedamaian yang ia berikan, pada keteraturan, dan pada cacahan ketukan dalam ritme-ritme permainannya, saya berikan satu sisi hati saya.

Dan ketika pemusik di Stasiun Gambir itu memainkan lagu populer dalam balutan irama keroncong, porsi kecintaan saya membesar. Saya lebih dari suka. Tepatnya, saya jatuh cinta.

Lalu, saya wujudkan kecintaan itu dengan selalu datang lebih awal tiap kali bepergian dengan kereta dari Stasiun Gambir. Saya juga lebih berlama-lama di peron Gambir tiap kali turun dari kereta, demi mendengarkan barang satu-dua lagu sebelum meneruskan perjalanan.

Saking seringnya berlama-lama untuk mendengarkan keroncong, saya menganggap Gambir lebih berkelindan dengan keroncong dibandingkan dengan mahalnya tiket kereta, banyaknya kedai cepat saji atau ratusan wajah yang tergesa.

Sejak itu pula, saya semakin hapal lagu-lagu modern mana saja yang paling sering dibalut alunan keroncong. Selain Can’t Help Falling In Love, lagu lain yang sering dinyanyikan oleh para pengasong keroncong adalah Fly Me To The Moon, Andaikan Kau Datang Kembali, dan Quando Quando Quando. Keempat lagu tadi seperti lagu wajib yang, siapapun pengasong yang sedang pentas, akan selalu dimainkan.

Lagu-lagu lain bersifat tentatif. Jarang dinyanyikan berulang. Apalagi oleh pengasong yang berlainan. Mungkin karena sifat beberapa lagu yang kurang cocok dimasukkan ke dalam pakem keroncong. Atau mungkin juga lagu itu diputar berulang di tempat lain, sementara saya sudah terlalu lama singgah dan menikmati keroncong hanya dari satu tempat saja, yaitu Stasiun Gambir.

Saya pun mulai menjelajah. Saat itu, medio 2013, saya tidak menemukan stasiun yang menyuguhkan pengamen keroncong seperti Gambir. Trayek saya yang melewati kota-kota besar di Pulau Jawa tidak mempertemukan saya dengan para pengasong ini di tiap stasiunnya. Setengah lelah dan mulai bosan berwisata, saya menyerah lalu kembali sesekali mengunjungi Gambir dan lebih banyak memutar musik keroncong lewat komputer atau laptop.

Tapi, kesibukan mengembara di peramban komputer membuat saya akhirnya mengenal penyanyi lain yang mengaransemen lagu-lagu kontemporer dengan pakem keroncong. Ialah Safitri dan proyek Keroncong in Lounge miliknya yang merampas perhatian saya. Safitri, dengan keunikan suaranya, membuat keroncong tampil lebih syahdu, elegan, sekaligus menyayat.

Lewat Keroncong In Lounge, saya mendengarkan Dibalas dengan Dusta yang lebih sendu, Unchained Melody yang lebih megah, dan Sway yang lebih santai. Hingga kini, ada 5 album yang dihasilkan Safitri dan proyek Keroncong In Lounge. Jangkauan lagu yang dipilih Keroncong in Lounge untuk diaransemen cukup lebar, dari yang cukup baru seperti Dibalas dengan Dusta hingga yang lebih tua seperti Fly Me to the Moon. Dari genre pop hingga RnB. 

Masuknya Keroncong in Lounge dan Safitri mengubah wajah keroncong menjadi lebih muda. Jika tadinya saya menganggap bahwa keroncong adalah representasi musik orang tua, kini saya tidak bisa berucap apa-apa ketika pemudi seperti Safitri mulai merambahnya. Ditambah eksperimen Keroncong in Lounge yang juga mulai memasukkan unsur-unsur modernitas kawula muda yakni pemiuhan-pemiuhan melodi ke dalam musik keroncong yang biasanya teratur.

Kian lama, saya kian jarang mengunjungi Gambir untuk mendengarkan keroncong. Rutinitas tidak banyak membawa saya berkunjung ke sana. Stasiun Pasar Senen, saat ini, menjadi lebih karib daripada Stasiun Gambir. Dan, kesempatan saya untuk menikmati keroncong sebelum kedatangan kereta berkurang banyak.

Namun, petang itu berbeda.

“Kereta terlambat hampir satu jam”, ujar pelantam suara tiba-tiba. Jelas, tidak ada alasan bagi saya untuk tergesa atau menunggu di dalam Stasiun. Langit sungguh cerah dan Stasiun Semarang Tawang cukup lengang. Hilir mudik penumpang tidak menghambat ruang gerak.

“Kami dari Gunung Jati Keroncong akan menghibur bapak ibu semua selagi menunggu kereta.”

Suara itu terdengar jelas. Saya menoleh ke kiri, asal suara, dan melihat lima orang, dengan perangkat musik masing-masing, siap bernyanyi.

“Lagu pertama, kita mainkan sebuah tembang yang cukup terkenal dulu ya. Pertemuan.” Vokalis utama grup itu berujar seperti sudah terbiasa menyapa para penontonnya. Mereka mengaransemen lagu yang pernah dipopulerkan Yuni Shara.

Tiba-tiba saja saya teringat Gambir, penjaja buku, pedagang makanan, lantai dua yang lengang, dan para pengasong keroncong. Bedanya, Stasiun Semarang Tawang lebih ramai dibandingkan Gambir. Kadang saya merasa bahwa para pengasong pun bernyanyi kepada tembok atau tiang yang bisu. Tiap lagu usai, tidak selalu ada tepuk tangan walaupun kualitas mereka aduhai betul.

Usai Pertemuan, mereka melantunkan Can’t Help Falling in Love. Saya turut menyanyi. Entah kenapa kerinduan saya terasa memuncak. Sudah cukup lama saya tidak mendengar lagu ini dimainkan secara langsung. Sembari terpejam, saya merasakan jatuh cinta yang tak tertanggungkan seperti isyarat yang diperdengarkan lagu ini.

Keroncong, petang itu, kembali saya rasakan sebagai musik yang indah. Rindu saya seperti tunai saat mendengar gitar yang dipetik cepat, bas yang dicabik teratur, dan suara vokal yang tidak ngoyo hadir tepat di depan saya.

Saya mengendurkan posisi duduk. Kegembiraan yang meluap harus saya kendalikan. Karena keroncong menawarkan kelambatan serta kedamaian. Dan seperti mengais puisi dari untaian kata para begajul, keroncong akan paripurna didengar saat kau tak tergesa.

Lagu demi lagu dimainkan, tapi sayang sekali lagu favorit saya di Keroncong in Lounge, Saving All My Love for You, urung dinyanyikan. Walaupun demikian, saya senang bukan kepalang ketika orkes gunung jati memainkan salah satu nomor lokal favorit saya tepat ketika saya hendak masuk ke dalam peron. Sial betul memang.

Lewat sayup-sayup suara, saya mendendangkan jua lagu yang menceritakan tentang kegundahan berada jauh dengan orang-orang terkasih selama beberapa waktu. Orkes Gunung Jati memainkannya dengan manis. Terlalu manis malah. Judul lagu itu: Layang Kangen.

Maka, mengutip Chairil, ketika orkes memulai “Layang Kangen”, kau seret aku ke sana. Ke pengembaraan yang jauh dari cinta.

 

832 Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *