Fast Fashion adalah Kegelapan Kita
Tiada yang menyangka kalau April yang cerah di Dhaka seketika berubah muram saat Rana Plaza, sebuah gedung 8 lantai di pusat kota, amblas dan menewaskan 1134 orang serta melukai sekitar 2500 lainnya. Tangis dan duka pun meruap ke mana-mana. Hari itu, pada awal 2013, musim yang tadinya panas pun basah jua. Bukan karena rintik hujan, melainkan oleh air mata.
Sementara, beberapa hari lalu, saat panas Juni juga masih kental, aroma bencana lain mulai berhembus. Beberapa brand fesyen ternama diduga menggunakan viscose, material yang disebut-sebut alternatif pengganti kapas atau polyester dalam proses produksinya. Viscose dipilih karena lebih murah dan tahan lama dibandingkan sutra apabila dipasang di rok atau gaun.
Yang menyedihkan adalah fakta bahwa proses produksi viscose tidak bisa lepas dari penggunaan bahan kimia secara eksesif. Pembuatan viscose berpusar di sekeliling penggunaan karbon disulfida, cairan yang sangat mudah menguap dan terbakar, sebagai bahan inti. Karbon disulfida ini rentan terpapar dan berpotensi membahayakan kesehatan para pekerja pabrik serta siapapun yang berada di sekeliling proses produksi karena kandungannya dapat menyebabkan kanker.
Baik tragedi Rana Plaza maupun pemakaian viscose dihubungkan lewat benang merah yang sama yaitu model pemasaran busana bernama fast fashion. Fast fashion pula yang bertanggung jawab atas gurita permasalahan yang diidap industri-industri busana sedunia seperti rendahnya gaji buruh, meledaknya pola konsumsi, dan meningkatnya pencemaran lingkungan.
Fast Fashion menjadi sorotan dalam beberapa tahun belakangan. Ia adalah dua sisi mata uang. Industri pakaian berterima kasih karena lewat fast fashion, mereka bisa memangkas biaya juga mempercepat waktu pengiriman barang yang berakibat pada perputaran usaha yang kian cepat, sehingga kinerja perusahaan untuk mengejar laba makin optimal. Sedangkan, di sisi lain, fast fashion merisak kesejahteraan buruh, juga mengancam kelestarian lingkungan secara masif, sistematis, dan terstruktur.
Satu hal yang mungkin tidak disadari adalah kita adalah bagian dari kusutnya festivalisasi kehancuran ekonomo dan ekologi ini. Apa sebab?
Pertama, kita harus tahu bagaimana fast fashion bekerja. Fast Fashion melandaskan diri pada efisiensi biaya selagi merespons dinamika perubahan selera konsumen yang teramat cepat. Di satu sisi, ia adalah rangkaian mekanis yang mengutak-atik rantai persediaan ekonomi. Di sisi lain, ia merekayasa keinginan para konsumen untuk selalu merasa perubahan gaya berbusana melulu sebuah kebutuhan yang terus bergerak.
Fast Fashion membongkar rantai persediaan dengan itikad penuh pada efisiensi biaya sebagai hasil perencanaan terstruktur dari para pengecer ke target pasar mereka. Para konsumen, si target pasar, adalah mereka yang menginginkan gaya busana tinggi dengan harga yang murah. Kepada mereka, fast fashion datang dan berusaha mengimplan keinginan untuk selalu butuh akan aneka gaya berbusana secara kontinu.
Fast fashion adalah penyebab industri busana membuat musim fesyen yang tadinya hanya empat menjadi lima puluh dua musim fesyen. Tiap minggunya, gaya busana baru akan terbit dengan harga yang sedemikian murahnya hingga mampu menenggelamkan keinginan konsumen untuk bergaya dengan busana minggu sebelumnya.
Harga yang murah juga memahat kebiasaan lembiru (lempar beli baru) dari para konsumen. Melimpahnya jumlah persediaan barang dagangan dengan harga murah tentu tidak akan membuat para konsumen khawatir kalau pakaian mereka rusak. Alih-alih dipakai untuk kurun waktu yang lama, fast fashion membuat orang tidak berpikir dua kali untuk membuang pakaian mereka yang cacat. Toh, pakaian baru masih bisa terbeli dengan mudah. Lama-kelamaan, kita kian tak sadar kalau sebenarnya kita hanya memberi minum pada dahaga yang tidak nyata.
Untuk membuat fast fashion bekerja, industri busana yang memiliki dua pekerjaan rumah. Pertama, membuat konsumen untuk terus menerus datang dan membeli barang dagangan. Kedua, menekan biaya produksi secara ekstrim agar harga murah tetap terwujud -satu faktor terkuat yang bakal memancing para konsumen selalu kembali-.
Pekerjaan pertama dilakukan bagian pemasaran. Gestur-gestur semacam “banting harga” hingga “trendi” juga “modis” digeliatkan di mana-mana. Pekerjaan ini tidak terlampau sulit mengingat pencucian agar otak terafeksi dengan kegiatan berbelanja pakaian sebagai satu keinginan daripada kebutuhan sudah berlangsung puluhan tahun. Menancapkannya jauh lebih dalam kini dipermudah lewat pesan-pesan yang tersedia di media sosial juga iklan yang super masif.
Dibandingkan pekerjaan pertama, pekerjaan kedua yaitu menekan biaya produksi cenderung lebih sulit. Selain melibatkan banyak area, penekanan biaya produksi kerap kali bersinggungan dengan permainan kotor kapitalisme global.
Fast Fashion memanfaatkan imbas globalisasi yang memudahkan arus lintas barang antarnegara. Dengan kemudahan itu, produk busana pun sebagian besar dibuat di negara dunia ketiga. Salah satu buktinya adalah sejak awal 1990, hanya 3% pakaian yang dijual di Amerika Serikat betul-betul diproduksi di sana. Produksi sebesar 97% sisanya dialihdaya kepada negara-negara yang biasanya memiliki upah minimum buruh yang rendah. Sebut saja Tiongkok, Bangladesh, hingga Indonesia.
Pemilihan negara tempat alihdaya produksi tidak hanya sampai di situ. Selain upah minimum buruh yang rendah, negara bersangkutan biasanya juga diangap permisif terhadap pencemaran lingkungan dan perlindungan kesejahteraan yang minim. Tujuannya jelas, mengurangi biaya terkait pekerja.
Tragedi Rana Plaza tadi merupakan salah satu klimaksnya. Peristiwa itu terjadi karena pemilik pabrik lalai untuk mengungsikan para pekerjanya meski keretakan bangunan sudah dideteksi beberapa minggu sebelumnya. Demi menjaga untung tetap mengalir dan pesanan pakaian tidak berakhir, pemilik pabrik ogah mengurangi jam kerja dan menutup rapat-rapat iktikad memperbaiki gedung.
Demikian juga penggunaan viscose. Viscose adalah racun yang dapat menyebabkan penyakit jantung koroner, cacat bawaan lahir, cacat pada kulit, juga kanker. Selain itu, secara historis viscose tercatat sebagai penyebab masalah kesehatan mental yang parah pada pekerja pabrik yang terpapar dengan kadar yang tinggi
Kedua, pemangkasan rantai proses produksi. Memanfaatkan globalisasi berarti harus berpandai-pandai memutar otak dalam mengatur jarak geografis yang aduhai luasnya. Pengetatan mata rantai pasokan pun jadi solusi. Para produsen busana memperkenalkan praktik seperti just-in time (JIT), computer integrated manufacturing (CIM), dan total quality management (TQM) demi memperpendek rantai persediaan juga membuatnya lebih peka terhadap respons pasar.
Rantai produksi yang pendek dan mangkus itu membuat banjir pakaian di pasar tak pernah reda. Padahal, satu pakaian saja tak bisa habis dikonsumsi dengan cepat. Akhirnya, limbah yang tak bisa diperbarui kian menggunung. Orang Haiti menyebut “sakit” ini dengan nama Pepe: limbah pakaian yang menumpuk dan tak mudah terurai.
Akumulasi kegelapan industri fast fashion ini adalah penyakit yang membunuh dunia pelan-pelan. Ia membunuh manusia yang menjadi buruhnya dengan upah rendah dan ancaman terhadap kesehatan. Ia membunuh bumi dengan limbah yang tak mudah terurai. Ia membunuh masyarakat luas dengan penabalan rasa konsumtif yang tinggi.
Maka, tak heran jika fast fashion terus-menerus dirongrong. Kritik dan pergerakan untuk merekonstruksi ulang model ini kian digemborkan. Suara-suara untuk menata ulang kebutuhan dan keinginan tiap-tiap individu terhadap pakaian juga ditularkan. Soalnya, jika model ini terus dibiarkan, pakaian bisa jadi kegemaran yang bisa membuat dunia menutup usianya pelan-pelan.
580 Comments
Sandra Nova
Wow, ilmu baru buat aku & baru tau dampak Viscose bagi lingkungan.. Tapi susah juga karena orang2 lebih memilih fashion dgn harga murah dibanding pret a porter yg memang sangat mahal. Adakah cara lain utk membuat fast fashion jadi lbh ramah lingkungan?
Nurul Rahmawati
Luar biasa mak jleeebb banget postinganya