esai

Berkas Panama dan Gombalnya Kapitalisme Global

home_140322

“SAYA ingin kejahatan ini terpublikasi.” Pesan itu diterima Bastian Obermayer pada akhir 2014. Saat itu Suddeutsche Zeitung, surat kabar tempat Obermayer bekerja sebagai reporter, sedang menyelidiki beberapa dokumen Mossack Fonseca yang bocor ke tangan pemerintah Jerman.

“Namun ada beberapa syarat. Hidup saya dalam bahaya. Kita hanya akan berbicara melalui pesan terenkripsi. Tidak ada pertemuan sama sekali.”

“Seberapa besar data yang kita perbincangkan?” balas Obermayer.

“Lebih dari yang kau pernah lihat.”

Obermayer terus menjalin kontak dengan ‘John Doe’, sosok anonim pemberi data. “Saya bahkan lebih sering berinteraksi dengannya daripada dengan istri saya,” ujarnya. Percakapan dilakukan sangat hati-hati, dan untuk melindungi keamanan, keduanya perlu berpindah-pindah saluran, yang segera dihapus sesudahnya guna menghilangkan jejak.

John Doe memberikan data-data yang dijanjikannya. Suddeutsche Zeitung menjaga rapat-rapat agar jumlah data itu tak diketahui siapapun, bahkan dalam bentuk gosip sekalipun. Lambat laun data-data itu terhimpun hingga mencapai ukuran fantastis: 2,6 Terabita. Struktur datanya: 11,5 juta dokumen meliputi nyaris 5 juta surel, 3 jutaan berformat basis data, 2 jutaan berformat .pdf, 1,1 juta gambar, 320-an ribu dokumen teks, dan dua ribuan dokumen lain.

Suddeutsche Zeitung mengontak The International Consortium of Investigative Journalists (ICIJ), sebuah konsorsium beranggotakan 165 jurnalis investigatif dari 65 negara, untuk menganalisis data-data tersebut. ICIJ merupakan insitusi media yang mungkin paling otoritatif dalam menyigi laporan investigatif berskala global, termasuk kolaborasinya bersama harian berbasis di Munich itu pada 2013 dalam mempublikasikan Offshore Leaks, dokumen dari negeri suaka pajak (tax haven country) berisi informasi kepemilikan aset-aset yang dilindungi oleh Bank Swiss HSBC. Sekitar setahun usai melakukan analisis data, pada 4 April 2016, ICIJ mengumumkan hasil investigasi atas dokumen dari Mossack Fonseca melalui sebuah laman dan menamainya Panama Papers (Berkas Panama).

BENJAMIN FRANKLIN pernah mengatakan: Di dunia ini tidak ada yang pasti, kecuali kematian dan pajak. Pajak dan kematian memilliki sifat yang sama: cenderung dibenci banyak orang. Survei wajib pajak oleh WalletHub di Amerika Serikat tahun 2016 bahkan menyebutkan para wajib pajak lebih suka ditato logo IRS (Otoritas Pajak AS) atau membersihkan toilet bau busuk selama tiga tahun ketimbang membayar pajak.

Sikap emoh bayar pajak, dalam derajat tertentu dan terutama bagi mereka yang superkaya, mendorong upaya pelbagai cara untuk sebisa mungkin meminimalkan pembayarannya. Cara ini diwujudkan melalui modus-modus penghindaran dan penggelapan pajak, dari yang paling sederhana sampai paling kompleks, dari memanfaatkan celah penafsiran aturan perpajakan (tax avoidance) hingga mengemplang pajak secara sengaja (tax evasion).

Keduanya secara etis bertolak belakang dengan semangat undang-undang perpajakan. Namun, praktik  penghindaran pajak dipandang legal karena dianggap “hanya” memanfaatkan ruang penafsiran berbeda atas satu undang-undang tanpa melanggarnya. Sebaliknya, praktik penggelapan pajak bersifat ilegal karena sengaja melanggar hukum, dan dapat diseret pidana. Meski begitu, batas keduanya sangatlah tipis.

Dalam Tax Haven: How Globalization Really Works (2010), Ronen Palan dkk menyatakan bahwa kesulitan membedakan keduanya dipengaruhi kompleksitas hukum di negara bersangkutan. Karena itulah perspektif dan interpretasi hukum dari otoritas pajak di negara bersangkutan sangatlah berperan dalam menilai apakah bentuk-bentuk pengurangan pajak, yang dilakukan individu maupun perusahaan, dapat digolongkan sebagai penghindaran ataukah penggelapan.

Selama tiga dasawarsa terakhir, modus-modus pengurangan pajak berkembang pesat sampai-sampai memaksa peraturan pajak harus terus beradaptasi dan bersifat lebih dinamis guna menanggulanginya. Dalam jangka waktu tertentu, setiap negara harus bisa membuat formulasi aturan baru agar celah-celah di peraturan sebelumnya tidak menganga terlalu lama dan dimanfaatkan oleh para pengemplang ini.

Tetapi, pembaruan peraturan secara berkala saja tidaklah cukup. Masalah penghindaran pajak kini jadi problem lintas negara. Para penggelap pajak turut memanfaatkan perbedaan aturan perpajakan antarnegara, di antaranya lewat perbedaan tarif. Ada negara-negara yang memiliki tarif pajak tinggi seperti Denmark, Swedia, Finlandia, dan Belanda. Ada pula negara yang menerapkan tarif pajak hingga 0%.

Indonesia berada di tengah-tengahnya, dengan mematok tarif pajak tetap 25% untuk korporasi dan tarif progresif hingga 30% bagi individu. Meski tak terlalu tinggi seperti di Denmark (55,8%) atau Swedia (57%), tarif pajak di Indonesia lebih tinggi dari Singapura (20%), sehingga kecenderungan penggelap pajak untuk memanfaatkan perbedaan tarif ini tetaplah ada.

Globalisasi, yang membuat batas antarnegara menjadi makin semu, dimanfaatkan para pembayar pajak untuk menyusun skema kompleks melarikan laba ke negara-negara bertarif pajak lebih rendah (profit shifting). Gayung pun bersambut. Negara-negara tujuan tak hanya menerima dana-dana itu, tapi juga memberikan bermacam fasilitas istimewa untuk melindunginya—disebut negara suaka pajak.

Menurut Roger Brunet, profesor geografi dari Prancis, beragam privilese yang ditawarkan negara suaka pajak ini berupa peluang diversifikasi investasi di sektor perbankan, hasil investasi bebas pajak, penempatan dana dengan keleluasaan dan privasi, pemberian imbal hasil yang lebih besar, tak adanya restriksi mata uang, dan perjanjian pajak yang menguntungkan. Segala fasilitas ini membuat pemerintah negara lain kesulitan untuk memperkirakan berapa dana milik warga negaranya yang tersimpan di suaka pajak.

Indonesia baru bisa mengendus dana parkiran ini melalui sebuah penelitian oleh Tax Justice Network yang dirilis tahun 2012. Lembaga berbasis di Inggris Raya itu melansir nilai aset milik orang Indonesia di tax haven sebanyak lebih dari AS$331 miliar. Nilai itu setara Rp4.500 triliun, hampir lima kali lipat dari anggaran pendapatan dan belanja negara pada tahun yang sama. Dengan nilai sebesar itu, Indonesia termasuk 10 besar negara penyimpan dana di suaka pajak.

Selain kesulitan di atas, pemerintah juga rada kelimpungan mendeteksi penggunaan dana di negara suaka pajak, yang gelagatnya sangat terkait dengan pelbagai modus kejahatan seperti pencucian uang, penyalahgunaan perusahaan offshore (membuat perusahaan cangkang), pendanaan yang keliru, penggelapan pajak, serta ancaman stabilitas sistem keuangan.

JIKA suaka pajak adalah yurisdiksi, maka piranti yang digunakan untuk mengelola dana di dalamnya adalah perusahaan cangkang (offshore company), jantung dari segala transaksi dan interaksi keuangan di negara suaka pajak. Meski bernama “offshore”, istilah ini bukan merujuk perusahaan lepas pantai seperti penambangan minyak dan gas. Predikat offshore megartikulasikan perusahaan-perusahaan ini berada di yurisdiksi yang jauh atau tak tergapai.

Perusahaan cangkang bekerja seperti perusahaan biasa, memiliki susunan pengurus serta direksi. Pembedanya adalah keseluruhan operasinya dilakukan anonim. Nama-nama pemilik dan informasi pribadi diajukan tanpa registrasi publik dan wajib dirahasiakan. Ia juga tidak diwajibkan untuk membuat atau merangkum catatan transaksi apapun. Jika pun ada catatan, perusahaan tidak diharuskan untuk mengungkapkannya kepada pemerintah asing dan otoritas pajak.

Total dana yang dikelola melalui perusahaan cangkang sangat besar. Bloomberg Billionaires Index menyatakan lebih dari 30% dari 200 orang superkaya di dunia, dengan total kekayaan bersih hingga AS$2,9 triliun, mengendalikan aset-aset pribadi mereka melalui perusahaan cangkang atau entitas-entitas lokal di mana aset dikuasai secara tidak langsung.

Di suaka pajak, banyak perusahaan cangkang dikelola oleh firma hukum. Satu firma hukum bisa menangani hingga ribuan perusahaan, dan menjamin perusahaan-perusahan cangkang sah secara konstitusi. Namun, dalam praktiknya, kadang-kadang firma hukum melakukan sindikasi dengan bank untuk menjajakan kerahasiaan finansial kepada politikus, penipu, mafia narkoba, hingga milyarder dan selebritas sebagai sarana penggelapan dana. Praktik ini terkuak setelah dokumen-dokumen milik Mossack Fonseca, satu firma hukum berbasis di Panama, bocor dan dianalisis oleh ICIJ. Mossack Fonseca adalah salah satu aktor dari praktik sindikasi keuangan ini.

Rumah suaka pajak

Panama menjadi rumah dari 350.000 perusahaan internasional yang terdaftar di sana. Jumlah ini terbesar ketiga setelah Hong Kong dan Kepulauan Perawan Inggris berdasarkan pemeringkatan dari Financial Secrecy Index, yang mengukur banyaknya kegiatan offshore di tiap-tiap negara.

Banyaknya jumlah perusahaan internasional di Panama karena dianggap Panama adalah salah satu negara suaka pajak terbaik untuk melindungi aset. Predikat ini berjajar bersama negara lain seperti Austria, Bahamas, Bermuda, Isle of Man, Jersey (Channel Island / European Mediterania), Liechtenstein, Selandia Baru, St Kitt Nevis, Gilbatar, dan The Cayman Island.

Selain itu, Panama menjanjikan privasi bagi pemegang rekening bank. Terdapat peraturan yang melarang bank di Panama mengungkapkan informasi tentang klien-kliennya kecuali diperintahkan untuk sebaliknya oleh pengadilan, yaitu kasus yang melibatkan pelanggaran serius seperti terorisme atau perdagangan narkoba. Di luar kasus itu, bank tidak boleh terbuka. Dalam kasus lain, jika bank bicara sehingga informasi klien sampai bocor, maka bank dapat didenda sampai AS$100 ribu.

Mossack Fonseca tahu betul cara memanfaatkan peraturan ini, yang membuatnya bebas membentuk jejaring korporasi dalam sebuah demimonde: dunia bayangan yang tak seorang pun dapat melongok ke dalamnya.

Mossack Fonseca menawarkan model bisnis yang sederhana sekaligus sangat menggiurkan. Klien dapat membentuk sebuah perusahaan cangkang anonim dengan harga sekurang-kurangnya AS$1.000. Dengan memberikan ongkos tambahan, ia siap menyediakan akomodasi lain seperti seorang atau beberapa orang nominee (direktur palsu bagi perusahaan) sehingga pemilik sebenarnya tidak terlacak. Nominee tadi berwenang menandatangani semua transaksi atas perusahaan tersebut, tetapi ia sendiri hanyalah alat. Nominee sering menandatangani kertas kosong yang baru diisi rincian transaksi di kemudian hari. Seorang nominee bisa menjadi direktur dari ratusan bahkan ribuan perusahaan sekaligus. Model bisnis seperti ini bagai menambahkan tabir di dalam tabir yang menjadikan perusahaan cangkang bentukan Mossack Fonseca terlihat sangat gelap dan misterius.

Ketika Berkas Panama dirilis, tabir demimonde tadi disingkap pelan-pelan. Praktik Mossack Fonseca selama lebih dari empat dekade ditelanjangi habis-habisan. Untuk pertama kalinya publik bisa membayangkan gambaran besar tentang bagaimana alur uang menyelusup keluar-masuk negara suaka pajak.

Skema perusahaan cangkang

MESKIPUN data telah terhampar di depan mata, tak mudah bagi para jurnalis dari ICIJ untuk mengungkap bagaimana aliran dana bisa bebas bergerak di negara suaka pajak melalui perusahaan-perusahaan cangkang buatan Mossack Fonseca. Ini karena aliran dana dalam data Berkas Panama biasanya mengikuti skema hasil rancangan para klien yang  umumnya rumit, berlapis-lapis, dan melibatkan banyak pihak.

Klien yang ingin membentuk perusahaan cangkang biasanya tidak berinteraksi langsung dengan Mossack Fonseca. Mereka diwakili oleh para perantara yang terpercaya dari pelbagai belahan dunia, di antaranya akuntan, pengacara, bank, atau lembaga wali amanat (trust company).

Hubungan antara klien dan perantara sering pula dilakukan secara tidak langsung. Pada beberapa kasus, klien memakai nama anggota keluarga atau orang kepercayaannya untuk meminta perantara menghubungi Mossack Fonseca. Melalui para perantara ini klien meminta Mossack Fonseca mendirikan perusahaan cangkang.  Mossack Fonseca, dengan menggunakan cabang dan kantor rekanannya di seluruh dunia, lantas memilih negara mana yang dituju sebagai basis perusahaan cangkang tersebut. (Mossack Fonseca mengelola lebih dari 214 ribu perusahaan, yang jumlah mayoritasnya (113.846) terletak di Kepulauan Perawan Inggris. Pembentukan perusahaan cangkang melibatkan lebih dari 14 ribu perantara.)

Setelah membentuk perusahaan cangkang, langkah selanjutnya adalah mengalirkan uang ke perusahaan itu. Pada tahap awal, firma hukum—yang bertindak atas nama perusahaan cangkang itu—meminjam uang kepada bank atau lembaga keuangan lain sehingga perusahaan memiliki modal awal. Berkas Panama mengungkapkan bahwa bank-bank besar dunia, termasuk Union Bank of Switzerland (UBS) dan Hongkong and Shanghai Bank Corporation Ltd (HSBC), berperan besar meminjamkan dana ini. Tentu saja dana yang dipinjamkan biasanya sesuai dana milik klien yang tersimpan di bank atau lembaga keuangan kreditur bersangkutan. Dengan adanya modal awal, perusahaan kini bisa melakukan aktivitasnya.

Perusahaan cangkang lantas dapat melakukan transaksi dengan perusahaan lain. Di titik inilah tujuan dari berdirinya perusahaan cangkang mulai terlihat. Transaksi-transaksi didesain sedemikian ruwet hingga membuat ICIJ kesulitan mendeteksi ke mana dan untuk apa penggunaan aliran dana dari perusahaan cangkang ini. Perusahaan satu bisa memberikan pinjaman kepada perusahaan lain sembari menjual hak menagih piutangnya kepada perusahaan lain lagi di saat yang sama. Satu perusahaan juga bisa berperan sebagai distributor, menjualkan produk dari luar yurisdiksinya kepada pembeli di negara lain untuk memindahkan beban pajak. Jika lawan-lawan transaksi dari perusahaan cangkang adalah perusahaan cangkang di negeri suaka pajak lain, maka keruwetan transaksi bertambah beberapa kali lipat hingga aliran dana dengan cepat pergi tanpa meninggalkan jejak.

Investigasi dari ICIJ menemukan bahwa Presiden Rusia Vladimir Putin memakai skema ini untuk memutar uang sebanyak AS$2 miliar lewat bantuan rekan-rekan dan keluarganya. Hingga kini belum jelas muasal dari uang tersebut. Namun dugaan perputaran ini mengandung modus pencucian uang. Hans-Joachim Kohlsdorf—pernah menjabat beberapa posisi penting di Siemens Amerika Latin—ditengarai menggunakan skema yang sama untuk mengungsikan uang dari skandal suap terbesar di Jerman. Diktator, kelompok teroris, dan organisasi kriminal juga menggunakan modus yang mirip untuk mencuci uang demi menjaga sustainabilitas bisnis gelapnya. Mereka antara lain kartel narkoba Meksiko dan Guatemala, Hizbullah, Al Qaeda, dan Robert Mugabe (presiden Zimbabwe).

Perusahaan cangkang juga menjadi saluran favorit untuk melakukan investasi-investasi penting ke negara-negara di dunia. Sebanyak 33% modal asing langsung (foreign direct investment) berasal dari suaka pajak. Pada 2010, misalnya, investasi Barbados, Bermuda, dan Kepulauan Perawan Inggris mencapai 4,54% dari investasi global, melebihi Jerman (4,28%). Fakta ini mengindikasikan dana-dana yang diperoleh perusahaan cangkang diputar ulang ke negara lain, bahkan mungkin saja ke negara asal uang tersebut. Aktivitas ini membuat uang di seluruh dunia bercampur baur, dan dana-dana kotor bersembunyi dengan tenang.

Transparansi, apakah cukup?

MEMILIKI perusahaan cangkang tidak melulu terkait tindakan kriminal. Aktivitas ini sepenuhnya legal. Banyak alasan kuat menunjang keputusan tersebut. Pebisnis dari negara-negara seperti Rusia dan Ukraina biasa menyimpan kekayaan mereka di perusahaan cangkang untuk menghindari perampokan atau penjarahan dari para kriminal.  Mereka juga memanfaatkan aturan yang meniadakan restriksi mata uang di negara suaka pajak untuk menyimpan kekayaan agar tidak mengganggu nilai mata uang negara asal. Ada pula alasan lain seperti perencanaan warisan dan pembangunan rumah.

Namun, hal terpenting yang sering dilanggar oleh para pemilik perusahaan cangkang adalah transparansi—salah satu indikator penyelenggaraan pemerintahan yang baik. Seluruh pejabat sektor publik diwajibkan transparan atas semua perilakunya, termasuk soal kekayaan, di hadapan rakyat.

Persoalan itulah yang menjerat Sigmundur Davíð Gunnlaugsson, Perdana Menteri Islandia. Dokumen dari Mossack Fonseca menyatakan Gunnlaugsson dan istrinya, Anna Sigurlaug Pálsdóttir, memiliki perusahaan cangkang di Kepulauan Perawan Inggris sejak 2007 bernama Wintris Inc. Perusahaan ini memegang surat utang yang semula bernilai jutaan dolar di tiga bank raksasa di Islandia. Ketiga bank itu kolaps ketika puncak krisis ekonomi dunia tahun 2008, dan membuat perusahaan Gunnlaugsson otomatis menjadi kreditor dalam proses pailit ketiga bank itu.

Dua tahun setelahnya, Gunnlaugsson terpilih untuk duduk di parlemen. Anggota parlemen terikat pada regulasi soal transparansi, yang mewajibkan mereka harus melaporkan setiap kepemilikan saham di atas 25%. Gunnlaugsson tidak melaporkan saat itu atas keterkaitannya di Wintris Inc meski dia masih memiliki saham 50%. Sikap tidak transparannya ini berlanjut saat dia terpilih menjadi perdana menteri pada 2013. Ketika tahun lalu pemerintah Islandia bernegosiasi dengan semua kreditor bank-bank yang tutup, Gunnlaugsson masih tidak memberitahu bahwa Wintris Inc adalah salah satu kreditornya. Di sini, Gunnlaugsson disinyalir terlibat konflik kepentingan.

Masyarakat Islandia kemudian mendemo Gunnlaugsson secara besar-besaran dan menuntutnya mundur. Islandia, yang masih terluka akibat krisis finansial 2008, tak ingin dipimpin oleh figur yang jadi bagian dari masalah sistem ekonomi perusahaan cangkang dan terlibat konflik kepentingan mahabesar. Selain itu, tindakan Gunnlaugsson dinilai mengecewakan pada saat Islandia begitu ketat meregulasi modal-modal dalam negeri agar tidak lari ke luar. Ontran-ontran ini pun berakhir dengan kemunduran Gunnlaugsson pada 6 April, hanya tiga hari usai Berkas Panama dirilis.

Ketidaktransparan juga menjadi tudingan terhadap Perdana Menteri Inggris David Cameron setelah ayahnya diketahui menggunakan Mossack Fonseca agar perusahaan dana investasinya, Blairmore Holdings Inc, tidak harus membayar pajak di Inggris. Presiden Tiongkok Xi Jinping juga melakukan hal serupa karena mendirikan dua perusahaan di Kepulauan Perawan Inggris pada 2009. Tapi sejauh apa keduanya terlibat dalam praktik pelanggaran hukum masih belum diketahui.

Bagaimana dengan mereka yang bukan pejabat publik? Di seluruh dunia, setiap individu dan korporasi harus memberitahukan setiap jengkal kekayaannya kepada pemerintah saat menyampaikan laporan pajaknya. Setidaknya pada dokumen perpajakan itulah masyarakat umum diwajibkan untuk berperilaku transparan.

Kewajiban perpajakan tidak berhenti pada pelaporan kekayaan. Individu dan Korporasi wajib membayar pajak-pajak terkait perolehan kekayaan sesuai ketentuan yang berlaku di negara bersangkutan. Atas kelalaian melaksanakan kewajiban-kewajiban itu, pelaku bisa didakwa sengaja melakukan penghindaran pajak.

Dengan dirilisnya Berkas Panama, otoritas pajak di seluruh dunia dapat mengecek ulang kewajiban perpajakan setiap individu dan korporasi di bawah yurisdiksinya. Data baru dari Berkas Panama dapat dijadikan basis untuk melakukan audit terhadap laporan yang telah disampaikan setiap individu dan korporasi yang namanya muncul dalam berkas tersebut.

Gaung di Indonesia

DI INDONESIA gaung Berkas Panama belum berdampak mencengangkan. Padahal dalam basis data yang telah dirilis ICIJ, terdapat 28 entitas perusahaan cangkang, 1.038 nama individu dan korporasi, 14 perantara (intermediaries) serta 853 alamat berbasis di Indonesia yang muncul.

Dari daftar nama individu dan korporasi itu, terdapat nama beberapa pejabat publik Indonesia, di antaranya Harry Azhar Aziz (Ketua Badan Pemeriksa Keuangan) dan Luhut Binsar Panjaitan (Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan). Azhar Aziz terlibat sebagai pemilik Sheng Yue International Ltd, sementara Binsar Panjaitan tercatat sebagai direktur Mayfair International Ltd (berbasis di Seychelles sejak 29 Juni 2006).

Azhar Aziz mendapat sorotan terang oleh sejumlah media di Jakarta. Pada awalnya Aziz membantah bahwa dia memiliki perusahaan cangkang tersebut. Tetapi belakangan dia mengaku sebagai direktur Sheng Yue dari 2010 hingga Desember 2015. Dia beralasan bahwa kesibukan membuatnya tak sempat mengundurkan diri, dan baru melepas jabatannya setahun setelah menduduki ketua BPK.

Berondongan tuntutan mundur dialamatkan kepada Aziz, yang dianggap bersalah secara etika sebagai pejabat publik karena tak pernah mencantumkan perusahaan cangkang itu dalam laporan harta kekayaan penyelenggara negara. Dia juga diduga tidak menyertakan perusahaan cangkang miliknya ke daftar kekayaan dalam surat pemberitahuan (SPT) tahunan pajak penghasilan.

Barulah pada 15 April 2016 Azhar Aziz mengklarifikasi kepemilikan perusahaan cangkang miliknya dalam SPT  tahunan ke Ditjen Pajak. Setelah mengklarifikasi hartanya, tuntutan mundur itu mengendur dan hingga sekarang dia masih menjabat ketua BPK.

Menanggapi nama-nama lain, Ditjen Pajak mengaku menggunakan Berkas Panama sebagai acuan untuk memeriksa kewajiban para wajib pajak. Hasil pemeriksaan awalnya adalah mengidentifikasi subjek pajak satu per satu. Dari 1.038 nama WNI di dokumen itu, 28 di antaranya teridentifikasi sebagai badan usaha, dan sisanya entitas pribadi. Ditinjau dari kepemilikan nomor pokok wajib pajak (NPWP), Ditjen Pajak mengidentifikasi ada sekitar 272 nama telah memiliki NPWP. Rencananya,  nama-nama ini akan dicek dan diperiksa lebih lanjut.

Ditjen Pajak tentu saja tidak dapat bekerja sendiri. Profesor Ronen Palan berpendapat bahwa masyarakat umum memiliki porsi besar dalam penindaklanjutan Berkas Panama. Perlu “kemarahan publik” yang meluas atas perilaku penghindaran pajak. Publik wajib mengawal tugas otoritas pajak untuk mengungkap dan menggagalkan modus-modus penghindaran pajak yang berakibat pada kerugian negara. Kemarahan publik telah berfungsi di Islandia sehingga mampu mendorong perdana menterinya mundur. Sedangkan di Indonesia, publik cenderung tenang menghadapi gejolak Berkas Panama.

Selain itu, pemberitaan terhadap dokumen Panama, mengingat kerumitan menganalisis datanya yang sedemikian besar, lagi-lagi mendesak pentingnya media mau berkolaborasi dengan media lain. Dengan kata lain, butuh kerjasama lintas media karena hal ini merupakan bagian dari kepentingan publik. Charles Lewis, salah seorang pendiri ICIJ, menegaskan bahwa kolaborasi adalah masa depan jurnalisme, dan dalam konteks Berkas Panama, ia dapat membantu para jurnalis mengurai data.

Di Indonesia sendiri memang agak ironis karena kolaborasi semacam ini tidak terlihat. Majalah Tempo adalah satu-satunya media di Indonesia yang terlibat dalam proyek investigasi ini, dan sebelum data Berkas Panama dibuka ke publik, tentu hanya Tempo yang tahu nama-nama orang Indonesia yang tercantum di sana. Konsekuensinya, publikasi nama-nama yang tercantum pun berjalan pelan—untuk tidak mengatakannya lama—dan hasilnya tidak memiliki daya tekan yang tinggi sebagaimana yang terjadi di negara-negara lain.

Peringatan John Doe

JOHN DOE akhirnya buka suara. Dia mengirimkan secarik manifesto kepada Suddeutsche Zeitung. Dia menjelaskan seharusnya media menyoroti lebih dari sekadar menjustifikasi apa yang legal dan ilegal dari aktivitas yang dilakukan oleh Mossack Fonseca. Dia menawarkan narasi lain yang bisa diungkapkan: fakta bahwa sebuah firma hukum di negara kecil mampu melanggar banyak sekali aturan yang berlaku di seluruh dunia dan bagaimana seharusnya firma itu dijatuhi hukuman yang berat.

John Doe mengatakan bahwa bank, regulator keuangan, dan otoritas pajak telah gagal menjalankan fungsinya. Aturan-aturan yang mereka buat tidak lebih dari pepesan kosong, yang dengan mudah diakali oleh mereka yang memiliki kekayaan.

Profesi-profesi di bidang hukum dianggap John Doe mengalami kegagalan yang paling fatal. Pemerintahan demokrasi tergantung pada individu yang bertanggung jawab dan memahami seluruh sistem, dan lantas menegakkan hukum—bukan yang memahami lalu memanfaatkannya. Rata-rata para pengacara telah menjadi begitu korup, sehingga diperlukan perubahan besar terhadap keseluruhan martabat profesi tersebut. Pengacara, menurut John Doe, bisa dimanfaatkan hanya oleh mereka yang memiliki uang.

Dampak kolektif yang ditimbulkan dari rangkaian kegagalan ini adalah longsornya standar-standar etik, dan mengakibatkan kapitalisme global menjadi sistem di mana orang-orang menjadi budak tanpa tahu siapa tuannya. Mekanisme koreksi dua arah dalam demokrasi telah ambruk, dan ketidakstabilan ekonomi dunia hanya berbatas dinding tipis yang rentan hancur.

Berkas Panama menghamparkan pelanggaran perpajakan sebagai masalah utama. Namun, kejahatan yang terjadi di dunia demimonde lebih dari itu. Mossack Fonseca mencampuradukkan dana dari seluruh dunia untuk dikendalikan semau para kliennya tanpa memikirkan tanggung jawab etis atas penggunaannya. Perdagangan manusia, pendanaan perang, atau kartel obat terlarang bersembunyi di balik sistem semacam ini dan darinya mereka mengeruk keuntungan besar.

Dirilisnya Berkas Panama adalah kesempatan bagi seluruh negara untuk memahami kekeliruan dari sistem keuangan global lalu berusaha menutup celah-celahnya. Sang John Doe benar.  Sudah seharusnya yurisdiksi tertutup ditiadakan. Transparansi tidak hanya berlaku bagi beberapa negara, tetapi bagi seluruh dunia.

Di akhir manifestoya, John Doe mengajak semua orang untuk melakukan aksi nyata. Jika di abad-abad sebelumnya ketimpangan ekonomi dan pelanggaran pajak yang terang-terangan mendorong revolusi fisik sebelum tentara dikerahkan untuk menumpasnya, kini tentara tak bisa lagi digerakkan karena, lewat akses internet yang sedemikian cepat dan penyimpanan digital tak terbatas, tindakan revolusi akan dimulai dari depan layar komputer masing-masing orang. Setiap orang bisa menghubungkan titik demi titik yang menunjukkan bagaimana kejahatan yang membokongi hukum terjadi di depan mata. Lalu, mereka dapat mengerahkan amarahnya dan menuntut para kriminal diadili.

Dengan demikian, revolusi untuk meniadakan yurisdiksi istimewa, seperti di Panama, seharusnya akan segera terjadi. Kecuali jika ketidakpedulian tumbuh lebih kuat daripada ketidakadilan.*

artikel ini pertama kali dipublikasikan di pindai.org (yang sudah tutup lamannya, sayang sekali) dalam kanal analisis pada Juni 2016.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *