Insentif Pajak yang Cantik dan Produktif
Rencana pemerintah menambah fasilitas insentif pajak seperti tax holiday, tax allowance, dan super deduction tax menimbulkan diskursus menarik mengingat Peraturan Menteri Keuangan nomor 35/PMK.010/2018 tentang Pemberian Fasilitas Pengurangan Pajak Penghasilan Badan baru suam-suam kuku diberlakukan. Laku menerapkan insentif pajak secara sporadis tentu menimbulkan pertanyaan. Pertama, tentang potensi pajak yang hilang di tengah keharusan Direktorat Jenderal Pajak menggenjot penerimaan untuk menggapai target pajak yang naik menjadi Rp 1.423,9 Triliun dari Rp 1.286,3 Triliun.
Kedua, fakta bahwa pada 2017 lalu, insentif pajak bisa dikatakan sepi peminat. Kementerian Keuangan mencatat bahwa insentif berupa tax allowance hanya dimanfaatkan oleh sembilan wajib pajak sedangkan tax holiday tidak dimanfaatkan oleh satu pun wajib pajak. Pendeknya, penerapan insentif pajak hampir mendekati tingkat yang sia-sia.
Namun, kenyataannya, insentif pajak hampir selalu akan ditawarkan sebagai umpan yang tak terpisahkan dari paket besar untuk menarik investasi. Pemerintah, yang mencanangkan target realisasi investasi sebesar Rp 765 triliun dan pertumbuhan ekonomi sebesar 5,4% pada 2018 ini, mau tak mau harus menggelar karpet lebar-lebar kepada para investor agar rencana besar itu tercapai. Oleh karena itu, bersolek untuk memperbaiki iklim investasi pun dilakukan, termasuk memoles paket insentif pajak.
Tetapi, hal yang seringkali alpa dilakukan pemerintah adalah menilai sejauh mana insentif pajak sudah cukup cantik untuk mendulang investasi yang datang. Jika pada tahun 2017 saja paket insentif pajak tidak banyak dimanfaatkan, maka bisa saja kesimpulan sembarangan pun muncul: insentif ini tidak menarik-menarik amat, atau bahkan tak perlu-perlu amat untuk diterapkan.
Publikasi yang diterbitkan oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) seakan mempertegas klaim tersebut. Pada 2017 lalu, total realisasi investasi Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) dan Penanaman Modal Asing (PMA) mencapai nilai Rp 692,8 triliun, lebih dari target yang dibebankan sebesar Rp 678,8 triliun.
Investasi yang terus menggelontor besar dibandingkan sepinya peminat insentif pajak menjadi cermin betapa selama ini insentif pajak seperti antah di tepi gantang: ada tetapi tidak begitu dihiraukan. Ada atau tidaknya insentif pajak tidak mempengaruhi itikad investor untuk berinvestasi di Indonesia.
Hal ini senada dengan studi yang dilakukan oleh United Nations Industrial Development Organization (UNIDO) mengenai iklim investasi. Dalam studi tersebut, diketahui kalau investor memang tidak terlalu memedulikan ada atau tidaknya insentif pajak sebagai pertimbangan untuk melakukan investasi. Mereka lebih mementingkan stabilitas ekonomi dan politik, biaya bahan baku, pangsa pasar lokal, transparansi dalam hukum, ketersediaan tenaga kerja terlatih, biaya tenaga kerja, hingga adanya kerja sama dan perjanjian bilateral sebagai pertimbangan berinvestasi di sebuah negara. Maka, pemerintah perlu mengutak-atik skema insentif pajak yang tepat dan mengawinkannya dengan faktor-faktor lain tadi agar tetap menarik dan efektif.
Utak-atik itu bisa dilakukan dalam beberapa tahap. Pertama, koordinasi pemerintah pusat dan daerah. Mengingat faktor utama yang membuat investor tertarik berinvestasi adalah kestabilan ekonomi dan politik, maka koordinasi ini menjadi penting. Stabilitas ekonomi nasional secara agregat harus menjalar ke stabilitas ekonomi lokal sehingga pemerintah pusat harus rela bertungkus lumus mengurangi kesenjangan ekonomi satu daerah dengan daerah lain, selain juga menjamin penyediaan infrastruktur penyokong investasi yang akan masuk di tiap daerah tujuan investasi.
Kedua, membatasi sektor-sektor penerima insentif pajak. Karena peranan insentif pajak untuk menarik investor tidak terlalu besar, pemerintah harus selektif dalam memberikannya. Ihwal ini, konsistensi pemerintah dengan memberikan keringanan pajak hanya bagi mereka yang mau berinvestasi di industri pionir sudah tepat. Peraturan Menteri Keuangan nomor 35/PMK.010/2018 pun berada dalam koridor tersebut. Rancangan penerapan insentif pajak selanjutnya seperti Mini Tax Holiday pun akan efektif jika ia kongruen dengan peraturan sebelumnya dalam hal jenis industri mana saja yang akan diberikan fasilitas.
Ketiga, kemudahan persyaratan insentif pajak. Cara pemberian insentif pajak, menurut Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto, cenderung tidak sederhana. Hal ini kontradiktif dengan faktor kepastian dan transparansi hukum yang diinginkan investor. Investor tentu ingin kepastian terkabulnya insentif pajak bisa diketahui sedini mungkin. Bagaimanapun, mereka adalah pengusaha yang punya kepentingan terkait perhitungan arus kas dan tingkat pengembalian. Semakin lama proses pemberian izin, semakin kecil keinginan investor untuk berinvestasi. Jangan sampai insentif pajak malah menjadi faktor yang mengurangi selera berinvestasi dengan adanya kerumitan tadi.
Hal terakhir adalah mempersiapkan infrastruktur perpajakan untuk pemulihan potensi pajak yang hilang. Insentif pajak memang mengurangi penerimaan pajak karena adanya pengurangan PPh hingga 100%. Tetapi, di sisi lain, pemerintah bisa “menangkap” pajak yang hilang tersebut di jenis yang lain.
Investasi akan mendorong pertumbuhan ekonomi dan membuka lapangan kerja, sehingga potensi penerimaan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penghasilan yang dipotong pihak lain (witholding tax) diproyeksikan mampu menutupi kehilangan tersebut. Syaratnya, pemerintah tetap konsisten menata jalur reformasi perpajakan. Pengetatan aturan, juga penguatan basis data perlu dilakukan agar investor tidak menggunakan insentif pajak sebagai bagian dari tax planning-nya dan membuat pemerintah rugi dua kali.
Maka, penambahan insentif pajak sah-sah saja. Sebagai negara berkembang, Indonesia memang memerlukan insentif pajak untuk menarik investasi. Tetapi, pemberian insentif pajak hendaknya tidak dilakukan secara sporadis tanpa memperhatikan rambu-rambu. Pemerintah harus main cantik agar tidak terkesan mengobral walaupun memang membutuhkan. Insentif pajak harus fokus, praktis dan sistematis agar potensi penerimaan pajak yang sudah dikorbankan mampu dipulihkan di kemudian hari. Dengan demikian, utak-atik insentif pajak tidak hanya didesain untuk sekadar cantik dan mengundang investasi semata, tetapi juga mampu dimanfaatkan secara produktif.
dimuat di harian Kontan tanggal 26 Juni 2018 dalam rubrik opini