esai

Komunisme Bukanlah Hantu

Setelah lama terlelap, tiba-tiba saja pekikan anti komunisme kembali nyaring terdengar. Sekelompok masyarakat hingga beberapa elit negara menyerukan jargon tentang bahaya laten komunisme yang mengancam kedaulatan negara. Salah satunya adalah Menteri Pertahanan, Ryamizard Ryacudu, yang mengungkapkan beredarnya isu komunisme dapat merusak persatuan. Padahal, jika dicermati, ketakutan yang muncul secara terstruktur ini sungguh tidak berdasar. Partai Komunis Indonesia sudah runtuh hingga akar-akarnya pascapagebluk Gerakan 30 September 1965. Simpatisannya pun berada dalam represi negara selama hampir tiga generasi. Di pelbagai belahan dunia, tidak ada bentuk nyata negara yang bisa merepresentasikan ideologi komunisme secara utuh.

Komunisme berubah menjadi hantu. Ideologi yang sudah mati dan tidak kasat mata itu ditakuti setengah mati. Makanya pelarangan atribut-atribut kiri, penutupan paksa diskusi, hingga razia buku dipandang sebagai bagian dari ancang-ancang kewaspadaan. Mereka tidak ingin komunisme bangkit dan menyebar. Ketakutan mereka persis seperti ketakutan kepada hantu. Ketakutan yang lebih mengutamakan penghindaran daripada pemahaman.

Sikap ini muncul tak lain sebagai hasil dari narasi sejarah orde baru yang telah mengakar dan dilegitimasi selama puluhan tahun. Komunisme menjadi asosiasi kata atheis, keji, diktator, dan perilaku sadis.  Maka, tak heran bila komunisme ditakuti serta dibenci setengah mati. Pemahaman atas komunisme pun berpangkal pada cerita-cerita semata, tanpa melacak ke teks-teks primer Marxisme ataupun Materialisme.

Tentu saja sikap seperti ini tidak bisa dibiarkan terus menerus. Indonesia sudah melewati fase reformasi yang berujung pada demokrasi yang lebih terbuka. Menakuti komunisme seperti menakuti hantu adalah sebuah kemunduran bagi demokrasi karena kini keran ilmu pengetahuan telah terbuka lebar-lebar.

Layaknya hantu, komunisme tidak bisa dilenyapkan begitu saja. Begitu juga dengan isme-isme yang lain. Pemberangusan dan pelarangan tidak berarti apa-apa mengingat akses internet sudah masif dan literatur mengenai Komunisme sangat mudah diperoleh. Pemberangusan dan pelarangan yang dilakukan aparat kepolisian dan TNI belakangan ini cuma terlihat sebagai praktik penindasan tanpa memberikan solusi.

Rasa takut terletak jauh di dalam kepala. Untuk menaklukkannya, langkah utama yang harus dilakukan adalah dengan mendekonstruksi pikiran. Alih-alih dianggap hantu, kembalikan saja komunisme kepada muruahnya sebagai sebuah ilmu.

Tentu saja, dekonstruksi ini tidak bisa dilakukan serta-merta. Begitu pekatnya rasa takut kepada komunisme sehingga diperlukan adanya kehendak kolektif dari pemerintahan Jokowi dan seluruh elemen masyarakat untuk mengubah perspektif ihwal komunisme ini melalui bermacam cara.

Pemerintahan Jokowi, sebagai pemegang tampuk kuasa, dapat menginisiasi usul pencabutan TAP MPRS No. XXV tahun 1966 tentang pembubaran Partai Komunis Indonesia dan larangan menyebarkan ajaran komunisme/marxisme-leninisme. Hingga sekarang, Ketetapan MPRS ini adalah aturan pangkal dan pijakan segala carut-marut konstruksi persepsi publik mengenai keburukan komunisme. Melalui ketetapan ini, komunisme diubah bentuk dari ilmu pengetahuan biasa menjadi stigma mengenai kekejaman semata. Berpijak pada ketentuan ini pula, aparat kepolisian dan TNI melakukan pemberangusan dan pembredelan secara serampangan terhadap atribut-atribut, buku-buku, hingga diskusi-diskusi yang dianggap menyebarkan paham kiri.

Pencabutan TAP MPRS tersebut menjadi penting dalam rangkaian upaya untuk mengembalikan komunisme ke tempatnya semula sebagai sebuah ilmu. Pencabutan ketentuan itu juga membuka kemungkinan ikhtiar untuk mengaji ulang pengetahuan tentang komunisme oleh siapa pun sehingga membuat perspektif terhadap komunisme tidak lagi dikuasai oleh penghakiman sepihak.

Selain itu, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan juga bisa memperbarui kurikulum pendidikan mengenai komunisme dari bangku Sekolah Dasar. Selama ini, tafsir tunggal orde baru yang meletakkan komunisme sebagai biang kejahatan masih mendominasi narasi di beberapa mata pelajaran, terutama sejarah dan ekonomi. Komunisme, beserta paham induknya, Marxisme, tidak diberikan ruang untuk membela diri. Padahal, peran Komunisme atau Marxisme sebagai ilmu ekonomi adalah memberikan kritik yang kuat terhadap paham kapitalisme yang telah menjangkiti sendi perekonomian negara Indonesia. Ketiadaan Marxisme justru membuat keringnya hubungan dialogal antar paham dan mendorong pengambilan kebijakan yang melulu berkiblat pada paham kapitalisme. Akses terhadap Marxisme yang dibolehkan sejak dini juga membuat generasi masa depan bangsa terbebas dari stigmatisasi kosong sekaligus menjadi penyegaran keilmuan bagi masyarakat.

Menghilangkan ketakutan kepada komunisme adalah proses mengaji ulang perspektif yang selama ini berjangkit. Komunisme tidak seharusnya dianggap sebagai hantu yang perlu ditakuti dan membuat kita lari terbirit-birit karenanya. Sebaliknya, komunisme adalah sebuah paham yang bisa didekati lalu dipelajari. Dengan pemahaman menyeluruh, pekik ketakutan masyarakat terhadap komunisme akan hilang.  Seluruh pihak akan menginsyafi bahwa komunisme bukanlah hantu tanpa wujud nun sadis melainkan sebuah cabang ilmu pengetahuan yang kritis.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *