resensi

Rafathar the Movie: Kado Kesia-Siaan

(tulisan ini ditulis pada tahun2 2017, ketika Rafathar masih tayang di bioskop, untuk web birokreasi.com. Setelah webnya kukut, saya memindahkan ke blog pribadi saya. Tulisan ini disunting oleh kawan saya Ahmad Taufoq Rosidi, dan, tentu saja, mengandung spoiler berat)

Hadiah ulang tahun untuk kebanyakan anak yang saya tahu selama ini, senantiasa berupa kue, tumpeng, mainan, atau baju. Pesta kecil juga kadang dilakukan dengan mengundang beberapa teman si buah hati. Namun, itu tidak berlaku kalau kau adalah Raffi Ahmad. Tak hanya pesta, Raffi memberi hadiah ulang tahun ke-2 anaknya, Rafathar, berupa sebuah film.

Agar tidak terkesan main-main, ia dikabarkan merogoh kocek lebih dari Rp 15 miliar. Jumlah yang setara dengan Dana Desa se-Pulau Sumatera tahun 2017 itu, dipergunakan untuk menggandeng duet produser dan sutradara Anggy Umbara-Bounty Umbara, musisi Melly Goeslaw untuk mengisi lagu tema, juga deretan aktor papan atas Indonesia seperti Agus Kuncoro dan Verdi Sulaeman.

Akan tetapi, keistimewaan yang pertama dan utama adalah usaha Raffi memasukkan teknologi Motion Capture dan CGI ke dalam film. Bekerja sama dengan Epic FX Studio Jakarta—yang pernah terlibat dalam film Pacific Rim, Incredible Hulk, Superman Returns, Life of Pi, dan Night at The Museum—Raffi dan Umbara Brothers menghadirkan teknologi yang konon setara dengan film Batman v Superman. Deretan nama beserta rekam jejak mereka yang aduhai, sempat membuat saya gentar. Ekspektasi saya meninggi. “Serius bat anjay!” kalau kata remaja tanggung dari kompleks sebelah. Raffi tak tampak sedang main-main dengan karya pertamanya. Lima belas miliar, Bung! Jika kau jenis patriarkis yang gemar sembunyi di balik dalih religiositas, kau bisa memakai uang sebesar itu untuk menikah empat kali lengkap dengan apartemen untuk setiap istri.

Kegentaran saya semakin menjadi ketika trailer diputar. Dalam dua-menit-tiga-puluh-detik, saya terkesima oleh potongan kisah dan komedi yang tidak lebih baik dari puisi-puisi Fadli Zon—tentu kita harus bersepakat dulu bahwa puisi juga punya genre komedi. Bedanya, kegentaran yang terakhir menghampiri bukan karena filmnya akan haibat belaka, melainkan takut kewarasan saya tiba-tiba hilang, lalu saya pingsan sebelum menghabiskan film secara utuh.

Toh, saya berangkat jua. Dilambari niat suci, mental baja, dan mengatasnamakan kebudayaan, saya menuju bioskop di seberang kantor sendirian. Ya, semua teman yang saya kenal menolak ajakan menonton film ini. Di luar dugaan, ternyata ada belasan #TemanRafathar lain di dalam teater bioskop yang juga penasaran bagaimana Rp 15 miliar dalam bentuk gambar bergerak. Saya tak benar-benar sendirian.

Jika Anda adalah jenis orang yang sangat alergi terhadap spoiler, dengan sistem saraf yang gagal mengembangkan mekanisme self awareness sehingga harus selalu diingatkan, baiklah, biar saya ingatkan: cukupkan membaca sampai di sini karena saya akan semakin eksplisit!

Rafathar dan Hal-Hal yang Tak Selesai

Penonton di sebelah saya adalah sepasang remaja berahi yang agaknya lebih ingin baku tindih ketimbang menonton film. Mereka bahkan sudah bertukar liur dan saling meremas bagian tubuh satu sama lain sejak saya tiba. Karena khawatir mengganggu proses tumbuh-kembang dua primata itu, saya terpaksa mengalah dan pindah tempat duduk sebelum film dimulai.

Film dimulai dengan kemunculan seorang profesor bernama Bagyo yang tengah kelabakan melarikan bayi dari sebuah laboratorium. Lewat segala upaya, perjalanan si bayi terhenti di depan rumah sepasang suami-istri selebriti.

“Rafathar. Oh, ini pasti nama bayinya,” kata Mila tegas.

Mila (Nur Fazura), si selebriti, langsung saja memberi nama berdasarkan tulisan di label selimut yang membungkus tubuh si bayi. Tak ada pertimbangan rumit layaknya orang Indonesia kebanyakan saat memilih nama. Tak ada perenungan mendalam soal filosofi dan harapan yang serba-adiluhung. Tidak ada pula keraguan kalau-kalau Rafathar ternyata adalah merek selimut yang dipakai si bayi. Mantap!

Mila segera mengambil tindakan cepat-tepat, yang seharusnya dilakukan oleh setiap orang yang baru saja menemukan bayi. Lapor ke polisi? Itu terlalu mainstream, Bung dan Nona! Sebagai selebriti yang mulai meredup dari industri hiburan, ia memilih konferensi pers. Tentu saja. Tentang apa? Ya tentang pengadopsian Rafathar. Apakah konferensi pers berjalan lancar? Tentu tidak. Mila dan suaminya, Bondan (Arie Untung), tidak bisa menjawab pertanyaan wartawan tentang panti asuhan asal Rafathar. Kendati demikian, konferensi pers ini teramat penting bagi jalannya film. Karena darinya, para penculik jadi tahu tempat Rafathar berada.

Penculik itu adalah duet Jonny Gold (Raffi Ahmad) dan Popo Palupi (Babe Cabita). Sementara perintah menculik datang langsung dari pimpinan mereka, Bos Viktor (Agus Kuncoro). Jonny dan Popo adalah pencuri kelas coro yang lumayan banyak menimba pengalaman absurd. Saat Rafathar dilarikan oleh Profesor Bagyo, misalnya, mereka tengah mengemban tugas merampok sebuah mobil penjaga keamanan (City Guard).

Lewat serangkaian slapstick dan trik perampokan yang wagu—seperti Popo pura-pura terkapar karena kecelakaan walaupun tidak terlihat ada luka—dua penjaga keamanan berhasil mereka kelabui. Mereka menggeledah mobil penjaga itu untuk mencari uang yang tentu tak akan mereka dapatkan. Lagi pula, Bung dan Nona, sejak kapan mobil penjaga keamanan membawa berkarung-karung uang? Namun, anehnya, mereka justru menemukan kotak berisi kalung mutiara sebagai gantinya.

Setelah perampokan yang absurditasnya paripurna itu, Jonny dan Popo berencana mundur dari dunia garong yang telah membesarkan nama mereka. Niat mulia itu nyatanya kandas karena adanya perintah Bos Viktor untuk menculik Rafathar. Berbekal foto yang dicetak pada kertas HVS 70 gram melalui printer otomatis (saya tak melihat ada komputer di ruangan Bos Viktor), mereka berangkat ke rumah Mila entah dengan menaiki apa.

Drama penculikan adalah kesempatan pertama penonton untuk mengintip efek CGI yang saya sebut di awal. Rafathar menampilkan kekuatan supernya, mengendalikan segala benda yang mengandung besi. Kalau saja Magneto (X-Men) dibuatkan cerita masa kecil, pastilah ia mirip Rafathar—minus kostum mirip maskot provider seluler yang tidak ada nuansa Pacific Rim sedikit pun walau pembuat efek berasal dari studio yang sama.

Bung dan Nona bisa melihat saat Rafathar mengendalikan perkakas dapur di trailer film. Efek menerbangkan pisau-pisau itu sebegitu warbyasak sehingga bisa membuat Zack Snyder menyesal karena lebih memilih menyutradarai BvS: Dawn of Justice dibanding Rafathar. Lewat penculikan ini juga, penonton diberi semacam petunjuk bahwa Jonny dan Popo punya kemampuan linuwih. Pisau, sendok, garpu, dan perkakas lain yang menerjang mereka, nyatanya tak meninggalkan luka sedikit pun.

Adegan penculikan ini juga memberi inspirasi kepada para penculik lain untuk tetap tenang dan menutup CCTV (yang terlanjur merekam wajah mereka) dengan selotip, dibanding menghancurkan rekamannya. Begitu mulianya, agar kelak polisi tidak perlu repot-repot menebak siapa pelaku penculikan. Satuan polisi itu dipimpin oleh Detektif Julie (Nagita Slavina). Benar saja, mereka betul-betul dimudahkan dengan menonton rekaman CCTV yang jelas memperlihatkan wajah Jonny dan Popo. Lha piye jeh? CCTV-nya banyak sekali sedangkan yang diselotip cuma sebiji. Layf.

Selanjutnya adalah adegan penelusuran jejak Jonny dan Popo yang tak bisa diceritakan satu per satu saking ruwetnya. Di sini, Bounty Umbara sebagai sutradara mulai memasukkan interaksi yang memancing relasi lebih antara Rafathar dan kedua penculiknya. Mereka kian akrab dan semakin ragu untuk menyerahkan Rafathar kepada bos Viktor. Saya sih menduga karena pemeran Jonny merasa Rafathar mirip anaknya di dunia nyata. Udah. Iyain aja!

Belum selesai dilema yang dialami Jonny dan Popo, Rafathar tiba-tiba kabur. Di sisi lain, Detektif Julie mulai berhasil melacak jejak Jonny dan Popo lewat pesan dari chat mesra Kapten Bagus Nyadi (Ence Bagus) dengan kekasih gelapnya (Anna C Pinem). Detektif Julie pun melakukan penggrebekan ke kediaman Jonny dan berujung adegan pengejaran ganda: Rafathar dikejar Jonny-Popo, yang juga dikejar Julie dkk. Belum cukup, hadirnya Kolonel Damon (Verdi Sulaeman) yang merupakan anggota badan intelijen pemerintah, semakin menambah rumit persoalan.

Fragmen kaburnya Rafathar adalah bagian paling menyenangkan bagi saya. Rafathar betul-betul mengacaukan seisi kota dengan kemampuannya mengendalikan besi. Ia memporak-porandakan Jakarta Fair yang dibuka oleh Jokowi KW super. Robot ondel-ondel raksasa yang sedianya hanya bisa mengucap salam sambil mengangkat kedua tangan, dibuatnya berjalan-jalan sembari mengucap “as-salamu ‘alaikum” berulang-ulang. Tentu para penduduk memilih berlarian alih-alih menjawab salam sang ondel-ondel.

Hal asyik berikutnya adalah reaksi Rafathar. Alih-alih ikut lari, ia tertawa-tawa layaknya Plankton yang sedang membakar habis seluruh Bikini Bottom dengan robotnya. Untung saja, tidak tercatat korban jiwa karena aksi si ondel-ondel. Padahal, polisi dan tentara (yang biasanya selalu ada di setiap demonstrasi besar, lengkap dengan peluru karet dan gas air mata) juga tidak tampak sama sekali.

Jonny dan Popo yang ikut melarikan diri dari kejaran ondel-ondel, akhirnya berhasil menemukan Rafathar meski pertemuan itu tidak berjalan lama. Ada sedikit plot twist yang nggak twist-twist amat, yakni munculnya agen pemerintah yang ternyata dalang di balik ini semua. Mirip novel-novel Dan Brown lah. Agen pemerintah itu berusaha memperdaya Jonny dan Popo untuk merenggut Rafathar kembali dengan memberikan umpan berupa ATM dan kulkas di tengah trotoar. ATM dan Kulkas, Bung dan Nona! Di tengah trotoar! Menyala dan berisi air dingin pula!

“Po, lu kagak curiga ada kulkas di tengah jalan begini?” Johny mencoba menahan Popo.

Namun, Popo yang sudah sangat kehausan tak peduli dengan Kulkas yang sungguh MNCRGKNSKL itu. Misalkan yang berdiri di tengah trotoar itu Krusty Krab sekalipun, barangkali ia akan tetap mendatanginya. Saat Popo membuka kulkas, yang terjadi adalah adegan yang susah ditandingi bahkan oleh film Transformers terbaik mana pun. Kulkas itu tiba-tiba berubah menjadi robot, lengkap dengan tangan dan kaki yang bengkok. Dan ATM di sebelahnya ikut berubah dengan bentuk tubuh yang tak kalah memprihatinkan.

Belum selesai dengan kejutan tersebut, tiba-tiba agen pemerintah yang menjadi otak di balik semua rencana ini muncul. Ia selama ini berpura-pura menjadi salah satu petugas penyidik. Siapa dia? Jangan pernah berharap saya akan membocorkannya di sini. Kemunculan agen pemerintah ini sontak mengagetkan #TemanRafathar seisi bioskop karena, sejak tadi, ternyata ia bersembunyi di balik plastik yang membuatnya tak kasat mata. Kalau Harry Potter diwarisi jubah tak kasat mata, Rafathar the Movie mengadaptasinya dengan piranti yang lebih Indonesiawi: plastik.

Barangkali penggunaan plastik adalah bentuk metafora atas rezim yang gagal menggerus kantong kresek: ada bahaya ekologis yang begitu besar di balik kresek belanjaan kita sehari-hari. Atau tak perlu terlalu sok filosofis begitu, kita bukan Žižek. Saya yakin plastik digunakan semata demi kepraktisan. Si agen pemerintah itu tidak bersembunyi sendirian. Ada sekitar delapan orang lainnya plus sebuah … mobil golf. Ini persembunyian komunal, Bosqu. Jangan bandingkan dengan persembunyian Harry Potter yang sangat individualis itu!

Memasuki babak akhir, alur kembali dibengkokkan dan para #TemanRafathar pun sadar siapa sebenarnya yang layak dibenci. Rafathar mengeluarkan kostumnya yang (lagi-lagi) mengingatkan kita kepada maskot salah satu provider seluler. Di adegan akhir ini pula, penggunaan efek Motion Capture dan CGI dilakukan sangat jorjoran. Ternyata menyaksikan pertarungan bertabur efek seharga Rp 15 miliar itu sungguh pedih di mata. Sebuah duel penghabisan yang lebih musykil daripada Trinity melawan Doomsday di BvS: Dawn of Justice.

Korban Iklan dan Ketidakpedulian

Film ini sebenarnya dimulai dengan tidak buruk-buruk amat. Babe Cabita dan Raffi Ahmad cukup lihai menyajikan komedi yang segar. Setelah fragmen awal lewat, barulah set yang dibangun sebelumnya, diporak-porandakan tanpa sisa. Selain lubang plot di sekujur film, saya sendiri heran dengan genre film ini. Apakah ia film anak-anak? Action? Komedi? Atau keluarga?

Kalau film anak-anak atau keluarga, rasanya komedi yang disajikan tidak layak karena banyak guyonan mesum dan visual sadis. Jika ia komedi, komedi yang bisa membuat saya tersenyum simpul hanya ada di awal film. Sisanya, rangkaian repetisi guyon. Barangkali sutradara lupa, target film ini adalah penonton yang membayar tiket. Bukan penonton yang dibayar untuk tertawa. Dibilang film action, saya malah tak sampai hati. Action yang beneran ada sepertinya hanya di adegan kejar-kejaran mobil. Tugas lainnya diserahkan pada efek CGI. Apakah tugas itu dikerjakan dengan baik atau tidak, itu lain soal.

Barangkali kita lebih cocok membuat genre baru untuk film ini: film iklan. Nama Raffi dan Nagita adalah kunci. Mereka tidak henti-hentinya membuat keluarganya sebagai komoditi bagi para sponsor. Bung dan Nona bisa mulai mengabsen sponsor-sponsor yang tertera dalam poster sejak awal film. Sayangnya, penempatan sponsor yang banyak itu justru mencederai kedaulatan film. Ada adegan yang diulang beberapa kali demi durasi tampilnya sponsor. Ada pula kosa-gambar yang sia-sia karena tidak ada tujuan lain selain memperlihatkan nama sponsornya.

Demi sponsor-sponsor itu, hal lain terkait film jadi tidak penting lagi. Jangankan cerita tentang peran lain, #TemanRafathar bisa menyaksikan sendiri bahwa fondasi asal-muasal tokoh utama tidak jelas. Apakah ia bayi yang mengalami mutasi genetik, makhluk yang dititipkan melalui burung bangau dari kutub utara, robot yang mirip sekali dengan anak manusia, atau anak alien dari planet yang dilanda perang saudara? Tidak ada yang tahu.

Alih-alih kualitas alur dan penokohan yang sengaja dijual, masa depan Rafathar justru bisa “terjual” setelah ini. Tak ada cerita apa pun tentang pribadi Rafathar. Meski tak berani menyebutnya tereksploitasi karena ambisi orang-orang dewasa, saya tetap mendoakan segala yang baik untuk Rafathar kecil. Semoga 10-15 tahun dari sekarang, ia tak menjadi sasaran perundungan teman-teman sekolahnya karena memerankan film begini rupa. Film ini seolah melenggang begitu anggun tanpa peduli kepada siapa pun, termasuk tokoh utamanya sendiri.

Saya juga tak akan mengatakan, sebagai hadiah ulang tahun, film ini adalah kesia-siaan paripurna. Hanya saja, ia begitu berjarak dari kesan rapi amat (pun intended). Semenjana saja belum. Film ini tetap berguna setidaknya, seperti saya sebut sebelumnya, untuk pasangan remaja berahi yang ingin bertukar liur dan saling meremas bagian tubuh satu sama lain. Saya sendiri tidak yakin Rafathar Malik Ahmad akan menyukai filmnya sendiri kecuali ia memang berniat merebut tahta legenda film cult modern kita: Aa Gatot Brajamusti.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *