resensi

Kesendirian Gerald Situmorang

resensi album Solitude dari Gerald Situmorang

solitude-cover

Kita bisa terikat pada apa saja. Pada seseorang yang merenggut kecintaan kita, pada pekerjaan yang membuncahkan gairah, atau pada kenangan yang ingin kita putar berulang. Tapi, bagaimana jika keterikatan itu timbul pada sebuah ruangan?

Gitar-gitar yang disangga dudukannya, tegak berdiri seakan sedang bertelekan sekaligus siap untuk dimainkan. Bass drum teronggok di sudut ruangan. Sedangkan dindingnya, dilabur dengan nuansa cokelat, muda dan tua. Suara bakal tersesat dan tak mampu keluar dari sana. Di ruangan itu, Sketsa, Barasuara, serta band yang mengenakan namanya, Gerald Situmorang Trio, menjajaki melodi demi melodi sebelum memerangkapnya dalam berkas digital.

Gerald Situmorang menganggap ruangan studio milik Marco Steffiano lebih dari tempat merekam lagu-lagunya. Baginya, studio itu adalah suasana yang membantunya memahat nada. Ada nyawa yang ditanamkan dan tumbuh bersama dirinya ketika membuat lagu dan memilah suara. Dan kesemua itu, tidak bisa ia singkirkan begitu saja.

Tapi toh ia harus bersijingkat pergi jua. Marco Steffiano memutuskan untuk pindah rumah, dan, tentu saja, ruangan itu akan ditinggalkan. Gerald tidak bisa menempati ruangan itu untuk memetik dan menampar senar-senar gitarnya lagi. Pun tiada lagi aura, gaung, serta musik yang menurutnya unik sebagai hasil gubahan dari ruangan itu.

Kesemua itu membuat melankolia Gerald datang, dan ia berusaha menyimpannya pada sebuah tempat. Ceruk yang bisa ia sesap air kenangannya setiap saat.

Ingatan-ingatan Gerald pun akhirnya dikeratkan lewat benda lain yang ia cintai: gitar. Ia mendedikasikan album solo pertamanya pada tempat yang menaunginya merekam segala tinggi-rendah petikan gitar dan bassnya selama ini.

Hasilnya adalah 12 komposisi yang menjebak pendengarnya dalam melankoli Gerald. Kita bisa membayangkan segala renungan, kegundahan, kesedihan, keterasingan, hingga riak-riak keriaan ketika Gerald membiarkan jemarinya menari di atas gitar nylon. Solitude, judul album itu, mencerminkan kesepian, kesunyian, dan keterbata-bataan ketika Gerald terpaksa tidak berumah di ruang yang sama.

Solitude diawali terjangan Raining Flowers, satu track yang berisikan petikan gitar yang berderap-derap. Tempo cepat dipertahankan dari awal hinggal akhir track, seperti memaksa diri untuk menekuri dua sisi kehidupan yang cepat berganti, dilambangkan hujan dan bunga mewakili ambivalensi senang dan sedih.

Gerald sedikit melambat dalam Two Worlds walaupun Two Worlds segendang sepenarian dengan Raining Flowers dalam membuat saya berpikir bahwa lagu ini dibuat untuk ketergesaan-ketergesaan yang ditawarkan Jakarta. Bangku sebuah bus kota yang berhenti karena macet dikelilingi pemandangan para pejalan kaki yang terburu-buru di trotoar mungkin menjadi tempat paling indah untuk menikmati track ini.

Solitude adalah Album Solo Perdana Gerald Situmorang (foto: ist, dokumen okezone.com)
Solitude adalah Album Solo Perdana Gerald Situmorang (foto: ist, dokumen musikjurnal.com)

Lalu, saya pun harus mengendapkan napas saya barang sesaat sebelum menyandarkan punggung dan menghirup komposisi nun cantik berjudul Old Stories, track yang didapuk sebagai single pertama album Solitude. Old Stories menjadi representasi sempurna segala perasaan yang menangkupi Gerald ketika membincang ruang yang ia tinggalkan. Gerald seperti bertutur tentang Sketsa, tentang album pertama dan kedua yang ia rekam, tentang Gerald Situmorang Trio, tentang Barasuara, dan tentang nada-nada khas yang ia kulik di sana. Old Stories adalah tentang kisah-kisah yang telah selesai ia kemas dalam ruang luas itu.

Saya masih belum dapat bangkit ketika Puzzles in Mind mengalun setelahnya. Petikan pembukanya sangat hangat, sebelum keseluruhan track berisi lompatan-lompatan antara progresi yang padat dan lengang berulang-ulang. Disusul Menahan Rindu yang ritmis dan ceria, kedua track ini sangat syahdu jika dimainkan beriringan. Menahan Rindu, saya kira, adalah manifestasi keinginan Gerald untuk tidak terjebak pada asosiasi rindu dengan ratapan-ratapan yang tak perlu. Lompatan-lompatan nada yang ada pada Menahan Rindu terasa lebih akrobatik daripada Puzzles in Mind sehingga membuat senyum kita akan tersungging saat menikmati jelajah jemari Gerald.

Alunan petikan cepat yang kembali muncul lewat Gone, komposisi yang kental dengan nuansa waltz, sebelum telinga kita dibenamkan lagi dengan buaian sejuk track Familiar Song. Saya kira, pengaruh Pat Metheny sangat kuat tertancap di Familiar Song lewat fragmen-fragmen lagu yang sengaja dipatahkan namun berpadu. Familiar Song adalah harmoni yang terdengar penuh dengan pertanyaan-pertanyaan, naik dan turun, pepat dan lapang.

Track selanjutnya, Why?, hadir pada waktu yang tepat. Ia seakan menutup kegelisahan yang sempat “disuarakan” Familiar Song melalui melodi-melodi yang lebih tenang. Why? mungkin adalah pertanyaan Gerald kepada dirinya sendiri, sebuah dialog ihwal kemengapaan yang beranak pinak, atau mungkin pertanyaan yang timbul dalam percakapan antara Gerald dan ruangan studio mengenai perpisahan yang tak pernah dinyana. Dan Why?, tentunya, adalah dialog yang dalam serta tak teruraikan.

Tiga track berikutnya bisa dinyatakan sebagai langkah Gerald untuk tidak berlama-lama dengan ingatan lalu. Diawali Always Changing yang ria seperti mendendangkan persetujuan bahwa hidup adalah perubahan yang mutlak. Spektrum cerita ketidakapastian masa depan dan rekognisi bayang-bayang masa silam ditautkan Gerald dengan baik lewat track ini.

Sementara track berikutnya, Beautiful Story, adalah perayaan Gerald tentang dirinya yang telah beranjak lepas dan mulai bisa bercerita tentang kisah-kisah indah yang dia lalui. Sedangkan track penutup, Natural Thinker, menutup manis hikayat kebimbangan yang telah Gerald pajang satu album penuh.

Sebenarnya masih ada satu track lagi yang bertitel Epilog: Solitude. Tapi, seperti hakikatnya sebagai sebuah epilog, track ini seperti hanya merangkum keseluruhan album dalam 103 detik. Ia hanya berbunyi bagai sebuah konklusi, tak lebih dan tak kurang.

Solitude adalah rangkaian kumandang Gerald yang manis. Dengan tidak berlebihan, Gerald menunjukkan kecakapannya memintal bunyi demi bunyi dan menghasilkan komposisi yang bisa menceritakan semua hal yang pernah ia rasakan tentang ruangan studio yang padanya album ini dipersembahkan.

Selain itu, Gerald juga merekam 12 komposisi dalam Solitude tanpa overdub sehingga dalam beberapa track dapat terdengar hembusan napas dan bebunyian selain petikan gitar. Orisinalitas suasana sengaja dibuat karena Gerald tak ingin hanya merekam suara, namun juga feel yang hadir ketika ia menjerat nada-nada itu di ruangan studio. Sehingga, Album ini, mungkin, akan menjadi prasasti jejak-jejak dan kenangan Gerald untuk dirinya sendiri. Meninggalkan bongkahan bunyi untuk dapat acapkali dicaci atau disesapi.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *