resensi

Gubahan Asik Piano Klasik Ista

Resensi Album Talking Days dari Christabel Annora

Ista saat sedang menghunus tuts pianonya (gambar dari rollingstone.co.id

Jemarinya seakan berdansa di atas tuts Keyboard Korg. Sementara di sisinya, dua orang memainkan cello dan biola. Larik demi larik lagu “60 km/h” lalu ia lantunkan sembari menjelajahi tubuh keyboard. Komposisi bebunyian keyboard, cello, dan biola pun mengiringi suaranya yang indah dan membawa pendengarnya terlecut, entah untuk apa.

Tidak banyak pianis sekaligus penyanyi dan pencipta lagu yang berlalu lalang dalam jagat musik Indonesia. Tambahkan atribusi perempuan, maka figur yang dimaksud akan makin terbatas. Saya sendiri baru mafhum dengan Leilani Hermiansyah yang akrab dengan nama panggung Frau sebagai figur yang bisa memenuhi atribut-atribut tadi.

Lalu muncullah Christabel Annora, seorang pianis perempuan dari Malang, dengan album penuhnya yang berjudul “Talking Days”. Ista mulai cukup menarik perhatian ketika sebuah TV lokal milik sebuah universitas menyiarkan penampilannya. Di sana, Ista, nama akrab Christabel, menghunus piano sebagai instrumen utama dan dipadu padankan dengan biola, cello, dan glockenspiel yang dimainkan oleh Timotius Nugraha, Octavianus Triangga, dan Steffani BPM.

Per 14 Mei 2016, “Talking Days” sudah bisa didendangkan secara penuh. Telinga akan dimanjakan oleh nuansa musik klasik yang berlarian disesaki suara Ista. Berlatar sebagai pengajar sekolah musik di kota Malang dan Surabaya, Ista sengaja mengambil saripati musik klasik sebagai basis berdiri lagu-lagunya. Dalam “60 km/h”, nuansa itu terdengar sekali berjejal dengan lapisan-lapisan suara Ista dan dentingan glockenspiel. Lagu bertempo cepat ini niscaya membawa pendengarnya seakan berada dalam awang-awang.

Formula yang sama digunakan Ista dalam “If These Walls Could Talk”. Lebih jauh, Ista tahu betul bagaimana mementaskan “If These Walls Could Talk” dengan pendalaman yang parau sekaligus indah. Lagu yang sempat masuk dalam album Kompilasi Sepi rilisan Barongsai Records ini menjadi penenang keriangan yang meluap-luap dalam separuh pertama album.

Tentunya single utama album “Talking Days” tidak boleh dilewatkan. Dari larik-larik manis I open my eyes, and all I see is you/ Waving through the branch and leaves, so true/ Birds saying hi, the butterfly smiles to you/ What a greeting in the morning from you menyajikan pengalaman bangun pagi menyenangkan yang dibingkai gesekan biola dan cello sedemikian manis. Ista tahu betul bagaimana pagi itu berderap datang dan meninggalkan kita dalam singkat, secepat pendar luka dan bahagia bergiliran hadir.

Lagu selanjutnya yang berbahaya tentulah “Ini Sementara”. Berduet dengan Odeding, Ista menembangkan kerisauan mengenai keperihan dan lara yang seakan tidak berakhir lewat permainan solo piano yang mengiris. Di paruh kedua, ballad terbaik juga dimainkan Ista via aransemen ulang lagu “Desember” dari Efek Rumah Kaca. Ista yang mengaku menggemari lagu itu menampilkan hormatnya dengan aransemen yang sarat nuansa magis. “Desember” milik Ista terasa seperti teduhnya sisi perempuan yang menangkupi bulan pungkasan tahun itu.

Beberapa lagu lain tak kalah indahnya, seperti “Lucid Dream”, “Rindu Itu Keras Kepala”, atau komposisi riang “New Kind of Lame”. Berpegang teguh terhadap nuansa musik klasik, album “Talking Days” melengkapi sebuah bingkai emosional seorang pianis muda yang patut disimak. Berbekal pahatan nadanya di album ini, Ista bisa saja melesat menjadi jajarn pianis perempuan yang mumpuni. Tak berlebihan jika “Talking Days” menjadi pesaing album pop terbaik tahun ini.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *