Sati, Jihad, dan Mereka yang Mendatangi Kematian
sebuah tanya tentang kematian
Meskipun suaminya telah tiada, Dewi Anggraini tetap bergeming terhadap rayuan Arjuna. Ia lebih memilih melakukan bela pati, mengakhiri nyawanya sendiri, daripada menjadi istri Sang Lelananging Jagad. Anggraini mengikrarkan cintanya hanya kepada Ekalaya. Cinta yang juga membawanya tumpas dalam janji sehidup semati berbalut kesetiaan.
Apa yang ada di pikiran Dewi Anggraini tatkala memutuskan untuk menemui maut yang diciptakannya sendiri? Ketakutan tak terperi dalam dirinya yang kebas? Ataukah ketenangan yang murni karena harapan apapun sudah berubah menjadi ampas?
Baltazard Solvyns, seorang pelukis yang bertualang di India, menyaksikan sendiri bagaimana prosesi itu: seorang istri yang dikremasi bersama jenazah suaminya. Urutannya kira-kira begini. Pertama, sang Istri mandi dan membersihkan diri, lalu bersolek serta mengenakan pakaian yang baru dan indah. Setelah itu, dia membagi-bagikan perhiasan yang dikenakannya kepada pendeta dan keluarganya yang menyaksikan prosesi.
Setelahnya, oleh Pendeta, sang istri ini diyakinkan ihwal kenikmatan yang akan ia cecap di balik “pengorbanannya”: sebuah kebahagiaan hakiki yang telah menanti setelah menyibak tirai kematian itu. Pendeta pun akhirnya mengantar sang istri dalam titian perjalanan luhurnya untuk ikut berbaring di sebelah jenazah sang suami. Mereka pun kemudian dibakar, takluk dalam nyala api, sambil diiringi suara sang Istri merapal “satya!satya!satya!” yang kian lama kian lenyap.
Nama prosesi itu adalah Sati. Ialah aeorang perempuan yang menyatu dengan swami-nya sebagai representasi pengabdian tertinggi seorang wanita sepanjang ada serta tiadanya nyawa. Para perempuan yang melakukan sati, disebut satimata, akan dihormati dengan tinggi-tinggi selain janji kesenangan tak terbatas di kehidupan selanjutnya.
Kehidupan didatangkan kepada manusia sebagai takdir yang tidak bisa kita pilih (bisakah kita memilih untuk tidak lahir ke dunia?). Tapi, kematian (sebetulnya) adalah pilihan yang diberikan kepada kita. Bisa saja kita memilih untuk mencerabut akar jiwa yang kita miliki dan menempuh jalan kematian. Lalu, kita akan terlelap. Entah dalam mimpi, atau dalam alam yang tidak sepenuhnya kita mengerti.
Lalu, pemaknaan apa-yang-terjadi-setelah-kematian membuat para mereka-yang-hidup menghimpun perasaan yang berbeda ketika ajal datang. Kenyataannya, kebanyakan manusia hanya mencengkeram ketakutan saat bertemu maut.
Tapi, Mushaib bin Umair menjadi pembeda dari kebanyakan omanusia itu.
Mushaib bin Umair menjadi seorang transforman yang awalnya memelihara baik-baik fasilitas kehidupannya: seseorang yang digambarkan tampan dan kaya di Jazirah Arab. Kemudian, ia berubah dengan merelakan hal-hal yang disematkan padanya demi meraih kehidupan yang sebenarnya, yaitu kehidupan setelah kematian.
Mushaib lalu memutuskan untuk menjadi balatentara dalam Perang Uhud. Dalam perang itu, ia menjemput mautnya. Dia gugur dengan kedua belah tangannya yang putus. Hanya burdahlah pakaian terakhir Mushaib di dunia. Segala julukan, juga fasilitas, yang pernah ia sandang dulu hilang dan menyisakan raga semata sebagai busana akhirnya.
Tyler Durden, dalam novel terkenal Chuck Palahniuk berjudul Fight Club, berujar bahwa kita harus berserah-bukannya menyerah, lalu memahami-bukannya mengetahui, bahwa suatu saat kita pasti mati. Sehingga kematian bukanlah sesuatu yang ditakutkan hingga mencekat, tapi sesuatu yang kita kunjungi saban hari.
Mushaib dan Anggraini, serta para wanita yang melakukan sati, menyeru maut dengan cara mereka masing-masing. Mereka merasa tatkala mereka menjemput maut, tiada asa hidup yang meruap di sana karena memang, menurut mereka, hidup tak lebih dari sekadar persinggahan saja. Sebagai jiwa yang tidak pernah memilih untuk dilahirkan -namun dipaksa untuk lahir- ada bagian dari diri mereka yang tidak ditautkan terhadap fananya kehidupan.
Dengan begitu, meninggalkan kehidupan tak lebih dari menanggalkan pakaian. Mereka tidak merasa iba terhadap apa yang ditinggalkan tapi menyambut hal baru sebagai pengganti apa yang telah mereka tinggalkan. Orientasi mereka bukanlah pada meninggalkan atau perpisahan, tetapi kepada pertemuan. Sebuah keadaan yang hadir tanpa adanya rasa perampasan.
Mungkin di benak Mushaib dan Anggraini, pertanyaan seperti inilah yang selalu mengemuka: bagaimana kau merasa terampas jika sejak semula kau merasa tidak ada yang patut dirampas?
Mushaib mempertautkan jiwanya pada Tuhan sehingga ia yakin Tuhan adalah sebenar-benarnya pemilik jiwa. Kerumunan manusia, ia anggap, tak lebih dari perlambang ekosistem tempatnya mampir. Mushaib mempersembahkan jiwanya pada Tuhan. Persepsi manusia kepadanya digugurkan. Ia lebih suka percakapan dengan Tuhan dalam tiap ibadahnya, termasuk jihad.
Mushaib melihat simpang peperangan sebagai bakti membela agama Tuhan. Sebuah syiar. Ia pun maju dalam peperangan, mengetuk pintu tempat Sang Ajal memegang kenop di sisi lainnya. Ia berharap, pada suatu peperangan, Sang Ajal menjumpai dirinya dan mengantarkannya kepada sebuah kehidupan yang lebih baik. Dengan begitu, ia menyongsong sebuah kematian seperti menjumpai musim yang selalu indah, di mana pun dunia tempatnya hidup.
Anggraini, serta perempuan-perempuan yang melakukan sati pun sama belaka. Mereka mempertautkan jiwa pada suaminya. Suami yang dalam ideologi Stidharma bermakna “Tuhan dan Guru”. Seperti halnya Mushaib, bakti perempuan diejawantahkan dalam tunduk dan patuh sedalam-dalamnya pada representasi “Tuhan”, yaitu suami mereka masing-masing.
Para perempuan itu, secara utuh dan menyeluruh, mengabdi kepada suaminya. Ekspresi ini yang disimbolkan oleh Sati. Kesetiaan digenggam erat oleh para perempuan itu hingga panjangnya hidup bukan batas yang menghentikan. Jika “Tuhan-Guru” mereka dijemput (atau menjemput?) kematian terlebih dahulu, maka para perempuan juga bersumpah untuk mengikutinya sebagai simbol pengiringan serta kesetiaan yang melebihi batas dimensi.
Maka, tidak heran, kesetiaan mereka adalah kesetiaan yang berdandan nun wangi. Mereka bersolek dan mematut diri untuk mendatangi kematian yang agung. Mereka berbaring di samping jasad suaminya dengan keadaan terbaik, mengucap satya sembari membiarkan api melahap sisa terakhir yang mengaitkan mereka pada hidup.
Mushaib dan Anggraini, serta para perempuan tadi, berhasil membuat hidup mereka tidak lebih dari pakaian yang sewaktu-waktu bisa ditanggalkan. Mereka tidak merasa memiliki hidup. Menyitir Tyler Durden lagi, mereka tidak menginginkan “things what you own ends up owning you” terjadi pada diri mereka. Maka, para perempuan tadi juga membagikan perhiasan mereka kepada keluarga yang masih hidup. Entah nantinya perhiasan itu menciptakan relasi antara pengguna dengan bendanya, ataukah tidak. Perhiasan tidak lebih dari penjajahan persepsi atas kehidupan sehingga untuk moksa, persepsi itu harus ditinggalkan.
Mushaib juga menyerahkan kekayaan, bahkan keluarga, untuk membela panji Tuhan. Burdah yang dipakainya di akhir hayat memang bukan pakaian yang bagus. Namun itu adalah pakaian terbaiknya. Tiada sembilu yang dipapakan dalam wajah Mushaib. Ia menemui Tuhan dengan jalan yang dia yakini paling suci. Maka keheningan (atau kebisingan?) hidup ia tutup dengan penyerahan yang dia hadirkan hanya untuk Tuhan sebagai relasi paling lekatnya. Ia menjadi pahlawan sekaligus teladan yang akan membakar jiwa sahabat-sahabatnya untuk menjumpai ajal dengan cara serupa: melalui jihad.
Maut selalu dihadapi dengan takut. Tapi perspektif Mushaib, Anggraini, dan para perempuan satimata menunjukkan sebaliknya. Mereka menyambut kematian sebagai sebuah pesta. Tanpa takut. Mereka berkeyakinan ihwal hal yang mereka tinggalkan tidak lebih baik dari hal yang akan mereka peroleh di “kehidupan” setelahnya. Mereka berbondong-bondong berdialog dengan kematian, berharap kematian menjemput mereka sesegera mungkin. Tentu saja, ketika Sang Ajal kemudian datang, ia akan disambut laiknya tamu. Mereka berdandan dengan pakaian terbaik mereka sekaligus menanggalkan segala yang mempertautkan dirinya dengan kehidupan. Ini terjadi mungkin karena sejatinya mereka tidak benar-benar menyambut tamu, tetapi sedang meminta untuk diajak pergi.
So, I’m paraphrasing Chuck Palahniuk again then: “the truth is that we might die at any moment. The tragedy, was that we didn’t”
798 Comments
Ikrom
eh aku jadi keinget adegan Sati pas marah banget Prajapati Dhaksa sebelum mati terbakar
yang gak asyik sekarang kayak banyak orang yang gak sadar kalau mereka bakal mati
tulisan bagus mas
Meidiawan Cesarian Syah
Makasih Mas Ikrom. Saya memang sedang bermenung soal kematian. Mudah-mudahan bisa menyadarkan kita ihwal kesementaraan hidup.