Apriani
Kita memang mudah “gumun” dengan remaja yang, katakanlah, melampaui zamannya. Lihat saja penduduk jagad maya yang semingguan terakhir terus membahas Afi (bukan singkatan dari Akademi Fantasi Indosiar), pemudi yang status media sosialnya selalu ramai, dan Naufal, pemuda penemu listrik dari pohon kedondong.
Afi dibahas karena status facebooknya. Lewat jejaring sosial mirik antek yahudi amrikkiyah itu, Afi menerbitkan pertanyaan-pertanyaan kritis yang kemudian jadi viral. Ia pun terkenal. Tetapi, keterkenalannya berbanding lurus dengan ramainya pelabelan antek sepilis (sekularisme, pluralisme, liberalisme) pada remaja 18 tahun itu.
Belum selesai polemik Afi, muncul pula kubu seberang yang-gemar-memberi-label-tetapi-anehnya-tak-bekerja-di-pasar-swalayan-itu. Mereka membawa nama Naufal sang pemuda pintar penemu listrik sebagai alternatif remaja yang sebaiknya dibikin terkenal. Selama ini tak ada perhatian dari pemerintah buat Naufal, menurut mereka. Kalau menurut saya, mereka ini kalau googling pasti lewat whatsapp.
Saya ingin menambah keruwetan prahara medsos ini dengan menyodorkan figur remaja baru sebagai sosok yang layak ((((kita)))) idolakan. Ia berasal dari lapangan hijau bulu tangkis. Hijau telur asin, bukan hijau ketupat.
Namanya Apriani Rahayu. Semalam dia baru saja berhasil menjuarai Thailand Open di sektor ganda putri bersama Greysia Polii. Itu adalah kejuaraan level senior pertama yang dimenanginya. Dalam perjalanannya, mereka berhasil mengalahkan ganda putri dari Australia, Thailand, dan Malaysia untuk menjejakkan kaki di atas podium juara. Thailand kita tekan, Australi dan Malaysia kita setrika. Betul betul betul.
Menariknya, Thailand Open juga kejuaraan pertama yang diikuti oleh pasangan ini. Duet Apriani-Greysia baru sekali turun bersama di partai terakhir penyisihan Sudirman Cup 2017. Selanjutnya, adalah catatan sejarah. Apriani merengkuh gelar senior perdananya di usia 19 tahun.
Di usia yang sebegitu mudanya, Apriani berhasil merampok mata para pecinta bulu tangkis di Indonesia. Perawakannya nan tomboi, kepiawaiannya melakukan jump smash, hingga kekuatannya menyisir lapangan membuat ia disebut-sebut sebagai figur yang pantas menggantikan Liliyana Natsir.
Bagaimana tidak? Setelah era Liliyana dan Vita Marissa, regenerasi pemain putri kita sangat lambat. Greysia Polii sendiri baru matang belakangan ketika sudah dipasangkan dengan Nitya Maheswari. Itu pun prestasinya masih naik turun.
Belum lagi menilik paceklik yang menimpa sektor putri bulu tangkis kita. Piala Uber sudah 21 tahun tidak kembali, pun juara di kejuaraan individu jarang terjadi. Tak heran jika munculnya Apriani terasa seperti gelontoran air sirup saat berbuka puasa. Endeus. Apalagi dia muslim. Double Endeus, kan? Eh tapi kok bawa-bawa agama? Lha bukannya penduduk dunia maya doyan banget bawa-bawa agama dalam hal apapun ya? Ehe.
Yang jelas, dengan segala atribusi itu, sudah bisakah kita mengidolakan Apriani?
Tentu saja. Apalagi jika kita mengetahui fakta kalau Apriani adalah remaja yang terbiasa berjuang. Pertarungannya dengan hidup untuk mencapai posisi sekarang sungguh tidak mudah dan murah.
Apriani sungguh tangguh. Sejak SMP, latihannya di Konawe, kampung halamannya di Sulawesi Tenggara, sering dimulai dengan berlari dari rumah menuju tempat latihan sejauh 9 km karena sepeda motor ayahnya sudah dijual. Lelah? Tentu.
Seakan belum cukup menjual motor, orang tuanya melakukan apa saja demi mendukung langkah demi langkah Apriani: dari jual sayur hingga gadai perhiasan.
Walaupun demikian, nyatanya hasil akhir tidak akan mengkhianati. Sabetan juara di pelbagai level daerah rutin ditangguknya. Perlahan, sayapnya kian terkembang dan pelatnas Cipayung pun datang untuk meminang.
Ia memang dikurung keterbatasan. Tetapi bukan berarti itu membatasinya untuk berlatih lebih giat sambil terus mengasah kerendahan hati.
Buktinya, di sepanjang Thailand Open kemarin, sungguh tak terhitung banyaknya nasihat yang meluncur dari Greysia untuk Apriani selama pertandingan. Tetapi, jangankan merengut, Apriani sangat hormat dan tak ragu meminta maaf jika melakukan kesalahan. Bahkan, di satu fragmen saat Piala Sudirman lalu, tampak Apriani mencium tangan Greysia, senior yang berbeda 11 tahun dengannya itu.
Kerendah hatian ini yang, saya kira, perlu dijaga oleh Apriani. Ia memang berbakat, tetapi sungguhlah ia masih hijau. Ia butuh pendamping, pengarah, sekaligus motivator agar jalan yang ia tapaki tak salah nantinya.
Oleh karena itu, saya mengajak kita-kita menjaga aset luar biasa ini. Ia masih muda. Jagalah agar tidak terpapar perkelahian netizen yang tidak ada bagus-bagusnya serta memecah belah semata itu.
Kita tahu kalau bulu tangkis, sejak lama, bisa mempersatukan. Di bawah bendera merah putih, kita tidak membeda-bedakan Liliyana Natsir yang Tionghoa, Tontowi Ahmad yang Jawa, Apriani yang Muslim, atau Greysia yang Kristen. Ketika mereka juara, hanya ada satu nama yang keluar: Indonesia, dan satu lagu yang terdengar: Indonesia Raya.
Mungkin benar belaka kalau mereka hanya tahu petuah si Mr. Arsenal, Tony Adams, yang kerap diulang-ulang, “Play for the name on the front of the shirt, and they’ll remember the name on the back.”
Eh, tapi, selain Apriani, sebenarnya ada juga pemain muda yang sangat berbakat. Prestasinya jauh lebih mentereng meski usianya hanya terpaut 3 tahun lebih tua. Dia sudah memenangkan 6 titel Super Series, mengalahkan hampir seluruh ganda putra terbaik, dan kini berada di peringkat 1 dunia.
Namanya Kevin Sanjaya Sukamuljo. Usianya baru 22 tahun. Kok tidak disodorkan sebagai idola?
“Kalau predikat kafir dan cina tidak kalian sematkan, Kevin itu lebih dari sekadar idola. Paham?”
P.S.: Apriani dan Kevin akan bertanding di Indonesia Open Super Series Preimiere 12-18 Juni mendatang. Ayo dukung mereka!
Gambar: Apriani saat juara Thailand GPG. Grand Prix Gold adalah kejuaraan tingkat dua, satu level di bawah Super Series.