Sunyi Menyanyi pada Pagi
Jendela-jendela pun sunyi
Menangkap kelam kali
Yang kering, yang terasing
Jauh dalam kerak musim
(Goenawan Mohamad – Catatan-catatan Jakarta)
Kadang, saya merasa sangat sunyi dalam menyambut pagi. Terbangun lebih awal dari deru azan di pagi yang begitu sepi. Menemui jalanan lengang, langit temaram. Saya berusaha memohon agar matahari muncul saja tanpa perlu menyiakan waktu terbit. Di waktu ini pula, jika Saya beruntung, saya masih bisa merasakan debu hujan yang tidak jadi turun dan kekal di angkasa, berayun didorong angin senja yang tersesat. Tapi tetap saja, saya masih merasa sunyi dalam menyambut pagi.
Pagi adalah sebuah permulaan dari potongan kesendirian. Di tititk penyambutan setiap pagi saya biasakan ambil satu dua buku dari rak buku kamar (yang sebenarnya cuma sedikit) lalu membaca patahan kata-kata yang pernah saya baca. Kebanyakan buku puisi sebetulnya, walau terkadang buku apa saja. Pokoknya, buku yang sudah pernah saya baca. Membolak-balik halaman-halamannya, siapa tahu masih ada pekik yang belum sempat mampir di telinga saya. Tawar-menawar pun terjadi, bangkai kata meminta masuk dalam denyut pirkiran saya, dan saya memilah ruang yang masih bisa disinggahi olehnya. Jika ada, saya persilakan ia tinggal. Jika tidak, ia saya kuburkan dalam buku dan saya letakkan kembali dengan angkuh. Padahal saya masih butuh ilmu, butuh kata-kata sebangkai apapun agar kerak kebodohan saya bisa hilang.
Dalam peperangan, pagi adalah saat serdadu menajamkan senjata dan bersiap menyerabut nyawa. Pagi adalah saat di mana serdadu menghitung-hitung pahala dan dosanya, bersiap melenggang ke penjagalan nasibnya. Jika beruntung, mereka masih memiliki pagi lain untuk menajamkan senjata. Jika tidak, maka pagi sudah pamit dari hidup mereka. Dalam pagi saya, senjata yang paling banyak saya peluk adalah bantal dan kasur, dan bersiap-siap juga menghapus usia dalam tidur. Terbangun menyambut pagi seperti rambai yang tidak terawat. Kotor dan berserak.
Beranda di depan yang biasa saya singgahi menawarkan udara yang bukan main indahnya. Udara untuk nafas yang cemas. Udara milik para pengelana yang berangkat kerja, sebelum siang mendera dan nafas menjadi sia-sia. Tapi sunyi tidak dapat lenyap begitu saja. Tubuh disejukkan udara, tapi jiwa masih dipenjara kemuraman. Sunyi yang mendorong jiwa ke jurang kosong
Saya memicingkan dan mengutuki dinding yang nyerinya seperti hendak mengurung tubuh saya. Kipas angin memutar tidak tentu dengan suara yang meminta saya memeluknya. Lamat-lamat dia menyerang saya dengan angin palsu yang menggoreskan penyakit dalam tubuh saya nantinya. Ritual beranda-kamar mengekang saya dalam kebebasan. Tidak ada film dalam notebook yang bisa memuaskan hasrat dan menggugah kesunyian -serta kemalasan- saya. Dan Saya, lalu hanya melihat, membaca, merekam apa yang terjadi di media sosial apapun yang ada dalam ponsel saja.
Pagi seharusnya menjelma suara kicauan burung yang baru dimulai dan nyanyian jangkrik yang belum selesai. Di Jakarta, pagi adalah gelutnya mesin-mesin mengantarkan manusia pada pekerjaannya. Jika pekerjaan itu dibencinya setengah mati, pagi adalah derunya mesin-mesin pengantar manusia lebih dekat pada kematiannya. Di tengah riuhnya kota, saya tidak memiliki pekerjaan untuk saya datangi, namun masih memilih meratapi sunyi.
Lalu rutukan-rutukan itu saya sajikan dalam bentuk teh panas. Jadilah pagi saya diterjemahkan dalam teh panas dan buku. Buku yang saling merendah meninggi kata-kata dan kesulitannya untuk saya cerna. Sekedar menanti hari berganti menjadi siang, dan pagi enyah entah ke mana.
Dalam pagi yang buta mata saya meraba-raba mencari cahaya. Dalam buku yang tua kata-kata melata mencari rumahnya: di mata. Saya mengandaikan baik mata, kata, dan cahaya adalah sahabat yang bermain-main di kebun teh. Pertemuan sahabat itu akan menjadikan rimbun pikiran saya semakin kaya. Sayangnya, buku sering tidak setuju dengan saya. Semakin saya memaksanya masuk ke dalam ekosistem berpikir saya, semakin menolak ia hadir dalam langkah-langkah saya. Buku yang demikian jumlahnya saya baca lamat-lamat sehingga makin menunjukkan bahwa saya bodoh, namun tidak cukup ksatria untuk memberitahukan pada siapapun bahwa saya bodoh. Buku semakin mengolok saya, dan pagi, semakin memerami saya dengan kesunyian.
Saya tidak bisa menyucikan sunyi dari pagi. Riuh orang-orang tidak mampu mengetuk kekosongan yang ada. Pagi adalah saat yang janggal, matahari terbit tapi saya merasa hambar. Pagi Saya kadang berisi kenangan semalam yang lenyap. Seperti mendapatkan sedikit tempias setelah hujan kenangan semalaman. Malam lebih sering dihiasi oleh sebuah perayaan atau hujan kenangan yang terdiri dari kumpulan percakapan. Jadi ketika Saya bangun di pagi harinya, kelu adalah kata yang sering saya jumpai untuk menafsirkan keinginan hati yang tak sempat menemui tujuan. Sunyi adalah sebuah keniscayaan, maka saya kembali merutuki matahari dan memeluk bantal lagi.
Padahal saya tidak suka terlalu lama tidur, tapi terbangun di waktu pagi seperti keceriaan yang hampir gugur. Ia membuka harapan sekaligus menutup kenangan. Saya lebih suka tidur dini hari dan bangun sejenak untuk salat Shubuh dan kemudian tidur lagi tanpa menikmati singsingan fajar yang sering menyerahkan saya pada keganjilan tertentu. Memang, tidak semua pagi menyakitkan. Saya hanya membenci waktu di mana pagi mendiktekan kosong ke dalam garis-garis nafas saya. Ada pagi-pagi di mana saya begitu riang untuk menulis dan membaca diktat-diktat tertentu.
Namun, seringnya yang saya alami adalah waktu di mana menyambut pagi menjadi kesunyian tersendiri yang lengking. Saya termangu dan mondar-mandir dari beranda ke kamar, membuka-buka buku, melihat media sosial, berharap kantuk bisa datang dan menjemput saya ke tidur lagi, atau agar fajar cepat hilang dan pagi hadir seketika. Sayangnya, yang lebih sering Saya alami adalah waktu, yang “menyalakan waktu di unggun tubuhmu, menghabiskan seluruh sisa sakitmu. Bahkan sebelum kau sempat membangunkanKu.”
Joko Pinurbo mendeskripsikan terbangun di pagi hari seperti pertaruhan untuk membangunkan diri agar bisa membangunkan-Nya melalui deru azan. Andai saja saya bisa merasakan apa yang dirasakan oleh Joko Pinurbo, menyambut pagi pasti tidak sesunyi waktu-waktu saya.
Tapi, saya tidak akan dan tidak pernah memiliki waktu. Saya lebih sering menyerah pada aturan jam-jam tertentu untuk menghambakan diri. Waktulah yang sering berkuasa pada saya. Saya adalah aposteriori dari waktu.
Di lubuk pagi saya, menjelang kegiatan yang berupa-rupa, saya kembali menarik satu-dua buku, mulai membaca, mulai berkhayal. Saya mencoba menghitung-hitung waktu dan kesempatan saya untuk menyelesaikan buku-buku yang sudah saya punya sebelum waktu saya dihabiskan oleh hal-hal lain. Penyambutan pagi adalah derapan-derapan, yang menyanyi menapak ke dalam hati yang tuba. Saya berharap semoga pagi lebih merdu dari sunyi saya yang makin lama makin melengking suaranya.