Kita dan Benda-Benda
Seorang Plato mempercayai bahwa dunia indra adalah dunia yang tidak sempurna karena dalam dunia indra, segalanya berubah. Dunia indra mentransformasikan sesuatu yang datang menjadi sebuah proyeksi kebenaran, sebelum sesuatu tersebut akhirnya pergi. Maka, Plato pun mengutuk nafsu dan menjadikannya tingkatan paling bawah dari bagian manusia.
Tentu kita mengenal penjelasan yang digurat oleh Plato pada masa lalu, di mana sebagian besar dari kita bertahan dalam meyakini semua yang diindrai adalah bayangan dari ide sebagai sebuah realitas. Dunia indra, atau dunia fisik, mencoba menghadirkan (atau menggantikan?) konsepsi-konsepsi ideal akan sesuatu, namun kenyataannya konsepsi ideal itu justru tidak tergapai. Seperti, konsep mengenai kucing yaitu hewan yang berkaki empat. Apakah jika semua kucing di dunia berkaki tiga, konsep ideal mengenai kucing berubah menjadi hewan berkaki tiga? Tidak. Ide selalu abadi dan kekal, sedangkan indra sangat fana dan takluk pada konsepsional. Indra cenderung mudah dimanipulasi, dibentuk, dan diarahkan karena indra mengacu pada sesuatu yang fana, yang mudah datang dan mudah pergi.
Kebergantungan kepada indra menggali jurang ambivalen antara ide dan bayangan atas ide. Rasionalitas berputar, koyak, dan lumpuh sembari menggamit-gamit sisa ruang ide yang masih dimiliki oleh kita. Kenyataan yang mencerminkan keadaan ini adalah konsep kita atas benda-benda. Benda, kini menjadi wujud representasi ide yang semakin lama, mengoyak idealitas itu sendiri.
Kita bepergian, lalu melihat pakaian dengan nama-nama: Dolce & Gabbana, Hermes, Marc Jacob, dan lainnya. Atau mungkin kita makan di cafe dan restoran ternama kemudian memotret dan mengunggahnya di media sosial. Sejenak kemudian orang berbondong-bondong memberikan tanda kagum atau senang atas pencapaian-pencapaian tersebut. Kita diberi tanda dan disematkan sebuah citra. Cerita pun terbagi, kita puas, namun kita semakin kerdil di hadapan benda-benda.
Benda sudah berada di luar dari jangkauan manusia walaupun manusia lah yang menciptakan benda. Kain-kain dipotong lalu dijahit dan dirupakan menjadi jas, kemeja, atau gaun. Jas, kemeja, dan gaun tadi berpisah dengan manusia, sang pembuatnya, untuk diperjualbelikan dan menjadi sebuah entitas sendiri. Kita melihat jas dan kemeja tersebut seraya mengagumi potongannya, namun tidak pernah terbersit di pikiran kita ihwal siapa yang mendesain dan membuatnya. Manusia, dipersembahkan jarak dari benda tersebut. Interaksi benda tersebut tidak bisa lagi dikendalikan oleh sang pembuat. Kita malu-malu pun mengakui jika memang ada jarak yang tak tertangguk antara manusia dan benda. Parafrase Gunawan Mohammad pun berdenting: di manakah letak kita diantara benda-benda?
Benda-benda, yang awalnya disebut dengan nama-nama, lalu lama-kelamaan kita jelmakan sebagai bagian dari kita, atau kita gunakan untuk menerjemahkan kita. Benda-benda berubah sebagai representasi kita. Nama kita berada semakin inferior di bawah markah-markah tertentu. Markah yang dibangun dari fantasi, mimpi, hasrat yang ditanamkan secara bawah sadar ke dalam diri kita. Markah yang dihasilkan oleh perspektif yang bertarung di sekitar kita, lewat implan-implan sosial.
Semakin lama, manusia didikte oleh manipulasi indra yang dicanangkan secara masif. Majalah, buku, televisi, poster, dan baliho mengalirkan implan sosial tadi ke dalam buluh pikiran kita. Mereka menentukan prasyarat kecantikan, ketampanan, keterkenalan, dan kebahagiaan dalam markah-markah: memakai baju model ini, mengenakan gaun seperti itu, memiliki followers twitter sejumlah sekian ribu, bisa pergi ke sebuah tempat, dan lainnya. Perlahan, indra yang dimanipulasi membuat benda mengambil alih kita. Benda hanya menjadi representasi implan sosial tadi, yang sebenarnya tak tersentuh dan tak dapat kita hadirkan. Bagaimanakah caranya menghadirkan konsep kecantikan pada diri kita, misalnya? Sementara kecantikan tersebut tidak pernah kita miliki. Namun, indra yang ragu-ragu akan menganggap gaya, potongan, pengenaan pakaian tertentu sebagai representasi kecantikan. Akhirnya, yang kita dapati pada saat bercermin adalah jarak antara ketidaktergapaian itu dengan representasi semu. Kita tidak melihat wujud diri kita sendiri.
Padahal posisi benda itu, seperti sudah disebutkan, berjarak dari kehidupan manusia. Jarak yang berupa kemampuan untuk memilikinya. Ketidaktergapaian yang dipaksakan hanya membuat benda menggenggam kita lebih erat, dan kita tidak mampu lepas darinya. Padahal, mengutip Heidegger, ke-ada-an (being) atau ke-tidakada-an (nothingness) adalah konstruksi yang dibuat oleh manusia. Pada tingkat subjektivitas tertentu, manusia memiliki tingkat realitas ke-ada-an atau ke-tidakada-an masing-masing yang tak dapat terbias. Dengan kata lain, ketidaktergapaian tidak akan menjadi masalah apabila kita mampu menerima ke-ada-an kita. Kita sadar bisa membentuk ke-ada-an tersebut dari semula tiada.
Lalu, mengapa kita cenderung mengalah dengan memilih untuk bertarung dengan ketidaktergapaian? Apakah argumentasi bahwa generasi manusia saat ini terlalu banyak dijejali prasyarat tertentu adalah benar? Kita, yang kini sedang duduk di belakang komputer jinjing, ponsel pintar, atau televisi sibuk melihat markah-markah tadi diinterpretasikan hingga kita merasa: pakaian kita salah, bentuk tubuh kita salah, cara dandan kita salah, dan lain sebagainya. Ketidakhadiran akan terasa semakin jauh untuk dihadirkan. Kebahagiaan menjadi satu-satunya tujuan yang ditawarkan tapi tanpa lintasan jalan.
Kemerosotan sosial tersebut diperparah dengan adanya gradasi sistem nilai atas prasyarat tadi: Siapa yang lebih cantik? Siapa yang lebih tampan? Siapa yang lebih eksis? Kita menjadi berlomba-lomba menetapkan siapa yang menjadi “lebih” diantara yang lain. Kita makin terperosok kepada penghambaan pada benda-benda. Eksistensi manusia menyerah kepada dominasi benda. Kita kehilangan struktur jiwa yang murni, yang membuat kesadaran diri dipertentangkan (atau cenderung dikalahkan) oleh proyeksi kemungkinan kesempurnaan. Celakanya, hal yang dituju adalah “kemungkinan” yang masih berupa “proyeksi”
Jean Paul Sartre, menyebutkan etre-pour-soi sebagai bentuk eksistensi manusia yang retak. Manusia, di satu sisi berada dalam alienasi (keterasingan) namun sekuat tenaga melawan keterasingan tersebut. Semua benda yang digunakan untuk merepresentasikan sesuatu yang tidak tergapai tadi dimaksudkan untuk melawan keterasingan itu sendiri, sembari mendaki piramida kebutuhan Maslow dan menaklukkan puncak kepuasan diri.
Kapitalisme menyulam baju kita, menuliskan markah-markah tertentu yang kita pikir kita butuhkan untuk mengalahkan alienasi kita. Alienasi kita pun mampu kita tumbangkan, bersamaan dengan eksistensi kita. Kita merosot dari sekedar makhluk eksistensial yang terasing menjadi etalase tempat kapitalisme menyematkan penampilan kita. Kita didandani sedemikian rupa untuk semakin mendorong keinginan agar berpenampilan lebih, menjadi penanda prasyarat yang diejawantahkan dan disusupkan ke relung pemikiran kita. Bahagiakah kita, ketika kita membiarkan indra kita dimanipulasi dan ide kita dikoyak-koyak dan dikeruhkan?
Plato merumuskan ihwal ide yang menjadi objek pengetahuan sebagai realitas tertinggi dibandingkan bayangan lainnya. Konsep ide yang dikoyak dan dikeruhkan kapitalisme selayaknya harus dimurnikan. Kita harus memisahkan permasalahan eksistensial manusia mengenai ke-berada-an (being) dari belenggu benda yang menjadi representasi manusia belaka. Benda, sejatinya tidak pernah merepresentasikan kita. Atau jangan-jangan kita memang memilih untuk cukup direpresentasikan dengan benda saja? Kita, sudah sepatutnya melawan kapitalisme yang mengerdilkan manusia di hadapan benda untuk kemudian menempatkan mahkota kepada dunia ide. Dunia ide inilah yang nantinya memberikan kebahagiaan tanpa prasyarat kepada kita. Tapi, apakah hal tersebut mampu dilakukan mengingat kehancuran kapitalisme semakin mustahil diwujudkan? Entahlah, tapi setidaknya melalui individu masing-masing kita masih bisa menyatakan perang untuk mengambil “ada” (being) dari dominasi benda-benda atas kita. Kita tidak sedang mempertuhankan benda, bukan?