Dilan 1990 dan Harapan-Harapan akan Kisah Cinta
Saya membuka tulisan ini dengan peringatan bahwa siapapun yang hendak memutuskan menonton Dilan 1990 dengan hanya ditemani Rakib di lengan kanan dan Atid di lengan kiri, sebaiknya pikirkanlah berulang-ulang. Meskipun mereka adalah kawan baik yang tak pernah meninggalkanmu, menonton film romantis sendirian adalah musibah yang lebih maut daripada ditinggalkan kekasih saat sedang sayang-sayangnya.
Selain karena pamor bukunya yang konon menyebabkan banyak remaja berharu-biru, Dilan 1990 menjadi kian menarik akibat trailer sepanjang 2 menit yang menampilkan rangkaian rayuan yang membengkokkan logika percakapan.
Patahan-patahan kalimat yang diuntai dari mulut Dilan yang diperankan Iqbaal Ramadhan -ya, benar. kau harus menulisnya dengan dua huruf a- membuat siapapun yang menonton akan sedikit menarik bibirnya ke atas. Tersipu, tersenyum, atau geli-geli lucu sambil berharap masa muda akan bisa dinikmati lagi meski usia rahang justru lebih dekat ke liang lahat.
Mereka tidak salah. Dilan 1990 memang mengambil latar Sekolah Menengah Atas. Saat kita benar-benar menyetujui pendapat Obbie Messakh. Bahwa tiada masa paling indah selain masa-masa di sekolah, atau tiada kisah paling indah selain kisah kasih di sekolah. Saat itu, ujian hidup paling berat memang hanya soal cinta. Mentok-mentok Ujian Nasional. Belum ada antrian panjang tentang persoalan cicilan, lonjaknya harga kebutuhan pokok, tersandera sebagai sekrup kapitalisma, atau pertanyaan-pertanyaan mengenai keputusan penting lainnya dalam hidup: “Kapan nikah? Kapan punya anak? Kapan mati?”
Belum lagi mengenai latar waktu yang diambil, yaitu pada tahun 1990. Jika kini, media sosial menjadi sarana paling ampuh untuk memulai isyarat cinta, tahun 1990 adalah masa telepon umum koin dan surat-menyurat sedang jaya-jayanya. Perjuangan mendapatkan cinta berbasis titip salam melalui teman, menelepon ke rumah, hingga berbalasan surat adalah hal yang lazim belaka. Lewat pendekatan itu, film akan menabrakkan keadaan penonton yang sedang berada di masa sekarang sengaja dengan perjuangan generasi sebelumnya dalam meraih cinta.
Imbasnya adalah dua gegar yang harus dihadapi sekaligus. Perbedaan waktu secara psikologis dan secara ontologis. Menonton Dilan adalah sebuah keniscayaan untuk mengelap-lap masa lalu sambil berharap kita berada di masa itu dan melakukan hal yang sama.
Secara cerita, sebenarnya Dilan 1990 mengetengahkan kisah remaja yang klise. Ia dimulai dengan kisah seorang gadis yang baru saja pindah dari Jakarta bernama Milea (diperankan Vanessa Pryscilla). Dua minggu setelah kedatangannya, hadirlah seorang pemuda cengengesan bernama Dilan yang mulai mengusik.
Dilan yang awalnya dianggap sebagai seorang peramal aneh oleh Milea, lama kelamaan semakin mendekat dengan memberikan aneka perhatian yang tidak biasa. Dilan memberikan undangan untuk menghadiri sekolah, menelepon terus-menerus, menemani Milea naik angkot, hingga memberikan hadiah ulang tahun berupa buku Teka Teki Silang.
Cerita selanjutnya sudah bisa ditebak. Dilan yang terus-terusan mengumbar peluru gombalan bak senapan mesin akhirnya mampu meluluhkan hati Milea. Padahal, saat melontarkan mesiu rayuannya, Dilan harus menghadapi keadaan Milea yang sudah punya kekasih di Jakarta (jarak memang tak bisa ditenggang, bung!), juga kehadiran jejaka lain bernama Nandan yang lebih “normal” dalam menggaet Milea. Tetapi, film ini tidak akan memakai nama Dilan sebagai judul jika ia tidak mampu mengungguli kompatriotnya, bukan?
Selanjutnya, kita akan dihadapkan dengan fragmen-fragmen romantisme kedua sejoli ini. Dilan-Milea menyita habis pandangan kita. Tiap mereka berinteraksi, terbersit pertanyaan besar dari dalam diri saya: “Setelah ini apalagi?”, “Rayuan seperti apalagi yang akan dilakukan Dilan”, “Keanehan apalagi yang bakal ditunjukkan Dilan dalam upayanya mencintai Milea?”.
Pertanyaan-pertanyaan semacam itu mau tak mau menjangkiti kepala kita. Dilan, yang konon ditengarai membela Syiah karena memajang poster Ayatollah Khomeini, memang punya sejuta kosakata legit yang mampu menawan siapa saja. Tiap dialog yang dilontarkan Dilan adalah sebuah keniscayaan akan terbangnya kupu-kupu dalam perut, kecuali bagi mereka yang sudah jengah mengecap riuh rendah sakitnya mencintai dan dicintai.
Dilan seakan betul-betul berperan sebagai diktator dan Milea adalah bagian dari kekuasaannya. Milea tidak boleh digangu-digugat. Secarik kalimat “Jangan pernah bilang ke aku ada yang menyakitimu, nanti orang itu akan hilang” jelas meniru pusaka kata favorit yang sudah ditamatkan oleh Bapak “Piye kabare? Enak zamanku, to?”. Apalagi latar waktunya sesuai dengan latar terjadinya penghilangan paksa beberapa orang.
Sehingga, narasi yang berkembang adalah Dilan yang dominan dan Milea yang, mengutip Chairil, menerima segala tiba. Milea adalah objek, dan Dilan berarti predikat. Men-Dilan-i bisa saja menjadi eufemisme dari kegigihan seorang lelaki yang rela bertungkus lumus membuat seseorang yang diincarnya selalu merasa senang.
Melalui penggambaran ini, Milea, sebagai representasi perempuan, diletakkan secara pasif dan membuat seakan-akan betul-betul tak mampu bertumpu pada dirinya sendiri. Dilanlah yang harus datang “menyelamatkan” Milea dari marabahaya apapun.
Film yang nyaris tanpa konflik
Dalam Dilan 1990, mayoritas cerita bertumpu pada relasi Dilan dan Milea sehingga tidak ada konflik yang betul-betul berarti. Saya sendiri kesulitan menilai bagian mana yang menjadi klimaks dari film ini karena, ya memang ngono kuwi thok. Film dengan pacaran sebagai Ghoyah dan gombalan sebagai Wasilah. ttk hbs.
Kisah Dilan sebagai pemuda geng motor nyaris tidak diumbar. Seakan itu hanya menjadi pemanis bahwa orang yang ganas pun bisa tampil lembut ketika berlutut pada cinta.
Belum lagi soal Milea yang sangat terlihat seperti tidak memiliki karakter yang kuat. Milea memang cantik. Tetapi tidak ada unsur tertentu yang membuat Milea tampak istimewa. Jikapun ada, itu tak lebih dari dia yang pindahan dari Jakarta. Tidak ada polesan karakter yang menjelaskan mengapa Milea menjadi magnet yang harus dikejar dan diperebutkan sedemikian rupa.
Namun, di balik semua kekurangan itu, sulit untuk mengatakan film ini adalah film yang buruk. Cara film ini bercerita sungguh anggun. Para pemainnya tidak tampak seperti sedang berakting. Saya hampir selalu teringat dengan film Juno (2007) yang cara penceritaannya mirip. Ketika para tokohnya tampak seperti memainkan dirinya sendiri.
Bahkan, saya bisa dengan mudah menjamin kalau rata-rata penontonnya pasti terperosok ke dalam kubangan romantisme cinta Dilan-Milea yang sungguh terlihat apa adanya. Kita akan sulit menolak bahwa chemistry yang dibangun antara Iqbaal dan Vanesha sebegitu ciamiknya sehingga kita pun berandai-andai kalau mereka punya rasa kasih yang sama setelah layar ditutup.
Atau, mungkin saja setelah menonton film ini, sebagian dari kita akan berandai-andai kalau Dilan dan Milea adalah bagian dari keinginan kita: kisah cinta yang betapapun inginnya kita rengkuh, akan selalu tak bisa kita sentuh.
515 Comments
Warm
Bagian terakhir: film tanpa konflik, itu saya setuju adanya.
Upakyana ittu, apakah artinya?