#KartiniDJP Julien Sri Redjeki Manossoh, Pengawal Tapal Batas di Utara Nusantara
Pernah, tempat paling utara Indonesia itu diakui Filipina sebagai miliknya. Itu dulu, sebelum narasi nasion terbentuk dan menelurkan Indonesia sebagai namanya. Setelah meyakini diri mardika, tempat itu menjadi beranda nusantara di tepi utara.
Tapi persoalan batas belum berakhir. Sebuah aplikasi peta daring dari raksasa internet dunia masih menempatkannya sebagai bagian dari negeri seberang: Filipina. Ini mungkin salah. Namun, letak tempatnya yang memang lebih dekat ke Filipina dibandingkan dataran Indonesia terdekat tidak bisa diingkari.
Di tempat seperti ini, wajah pemerintah sepatutnya hadir. Institusi berdiri tidak untuk menjalankan fungsi utamanya, tapi juga sebagai penjaga kedaulatan negeri dan pengawal yurisdiksi.
Di pulau yang bernama Miangas itulah, Julien Sri Redjeki Manossoh memenuhi tugasnya sebagai kepala Kantor Penyuluhan, Pengawasan dan Konsultasi Perpajakan Talaud, Melonguane, Kabupaten Kepulauan Talaud: salah satu wajah pemerintah yang hadir di sana. Selain mengawal penerimaan negara, Julien menakhodai kantornya untuk berperan sebagai tapal kedaulatan negara kesatuan Indonesia.
Pekerjaan Julien tidak mudah. Wilayahnya terdiri dari hamparan laut yang seperti tanpa tepi. Setidaknya, ada empat pulau utama yang harus ia sambangi saban hari untuk memberikan konsultasi dan penyuluhan perpajakan kepada wajib pajak, yaitu Kabaruan, Salibabu, Kabaruan, Karakelang, dan Nanusa. Di Nanusa itulah, tapal batas paling utara Indonesia, Miangas, berada.
Bersama-sama dua pelaksana KP2KP, Julien rutin menjelajahi depa demi depa 19 kecamatan dan 153 desa yang ada di kelima pulau itu. Pemerintah Daerah menjadi tujuan utama kegiatan penyuluhan karena merekalah potensi perpajakan utama yang dimiliki KP2KP Talaud. Dengan jangkauan seluas itu, tentu dibutuhkan stamina yang luar biasa dari Julien beserta awak KP2KP Talaud lainnya.
Tapi, tantangan belum berakhir hingga di situ. Julien pun harus berjuang dengan keterbatasan daerahnya yang masuk kawasan tertinggal. Ketersediaan jaringan internet dan intranet sangat minim. Belum ada penyedia layanan yang mampu memberikan fasilitas yang memudahkan akses aplikasi daring. Sehingga, mengelola kesabaran adalah prasyarat utama yang selalu ia pegang.
Selain itu, ia juga menghadapi kenyataan bahwa di Talaud, jasa pengiriman pos/ekspedisi juga belum tersedia. Laporan-laporan harus dikirim ke KPP Pratama Tahuna ataupun ke Kantor Wilayah melalui kapal yang jadwalnya sering berubah karena bergantung pada keadaan cuaca.
Tapi, rangkaian aral itu tidak menanggalkan asa yang sudah tegak terpasang di dada. Julien percaya bahwa keteguhannya bekerja mampu memupuskan tantangan yang ada. Apa yang dikerjakan belumlah apa-apa, katanya.
Mau, tak mau, dari Julien kita bisa memandang keteguhan kartini yang dituliskannya dalam surat pada Marie Ovink-Soer. Bahwa benar bahwa semangat Kartini itu ada di sudut utara sana: “Ah, ibu, aku mau hidup 100 tahun. Hidup ini terlalu pendek. Pekerjaan banyak sekali menunggu. Dan sekarang aku bahkan belum boleh memulai.” (R.A. Kartini kepada Nyonya Marie Ovink-Soer, sebagaimana ditulis Nyonya Marie dalam bukunya: Persoonlijke Herinnering aan R.A. Kartini). (*MCS)