#KartiniDJP Sukindar Setyaningrum: Tetap Menyusui walau Keluar Masuk Pedalaman Kalimantan
Dalam kondisi hamil 6,5 bulan, Sukindar Setyaningrum harus segera mengepak barang-barang dan berangkat ke Balikpapan. Selembar keputusan mutasi membawanya meneruskan karier sebagai fungsional penilai di Kantor Wilayah DJP Kalimantan Timur dan Utara untuk lama yang ia tak bisa inderai.
Saat itu, ia berpikir bahwa konsekuensi bertugas di bumi Borneo berarti keharusan untuk keluar masuk hutan, selain tentu saja berjarak sebegitu jauh dengan keluarga yang tinggal di Semarang. Galau sempat menyergapnya, walau tidak terlalu lama. Dukungan yang mengalir sederas cinta dari sang suami menguatkan hatinya untuk memikul segala konsekuensi itu.
Walaupun, pada akhirnya, setiap tugas yang diembannya benar-benar menjadi petualangan pahit-manis dengan aneka keseruan.
Seperti ketika meninjau Hutan Alam di Malinau. Perjalanan yang harus dilalui adalah terbang dahulu ke kota Tarakan, berganti pesawat kecil ke Malinau, lalu keluar dari Malinau untuk menuju lokasi hutan menerabas jalan berbatu dan berair selama lebih kurang 5 jam.
Usai melakukan tugas, Kindar bersama timnya terjebak dalam kegelapan malam di dalam hutan alam pedalaman Malinau karena jalan pulang yang harus merela lalui tergenang air limpahan tambang batubara setinggi 1,5 meter. Mereka berhasil lolos dengan mengambil jalan memutar hingga akhirnya dapat kembali ke base camp di Malinau meski waktu tempuh menjadi 7 jam dari yang seharusnya 5 jam saja.
Kindar juga pernah merasakan pengalaman lain yang luar biasa ketika meninjau Perkebunan Sawit di Desa Riwang, Kabupaten Paser. Perjalanan menyeberang dari Balikpapan ke Penajam Paser Utara yang harusnya hanya 1 jam berubah menjadi 2,5 jam karena kapal terseret ombak dan angin yang sangat kencang.
Saat itu, semua bagian kapal tak luput dari amukan hujan. Atap dan penutup jendela kapal tidak sanggup menghalangi air yang masuk dan membasahi para penumpang. Di luar, langit berkabut tebal dan jarak pandang yang pendek membuat pengemudi kapal tidak bisa melihat kondisi sekitar. Hanya sahutan bunyi klakson kapal yang menjadi penanda agar kapal tidak saling bertabrakan.
Seakan belum cukup, ia masih harus meneruskan perjalanan darat ketika sudah sampai di Pelabuhan Penajam Paser Utara menuju Desa Riwang selama kurang lebih 8 jam. Jalanan yang hancur membuat perjalanan 8 jam terasa seperti selamanya. Itu pun belum usai. Rute yang sama harus ia lalui ketika kembali ke Balikpapan.
Hebatnya, Kindar melakukan pekerjaan yang mengharuskannya sangat mobile itu sembari memberikan makanan terbaik untuk anak manusia. Kindar adalah seorang ibu menyusui. Ia memerah asi di mana saja: ruang laktasi kantor, penginapan, hingga di dalam kendaraan yang dinaikinya ketika perjalanan tugas.
Ia berbekal Cooler Bag, pompa manual, kantong asip, tas kresek dan 4-5 ice gel besar demi memperjuangkan nutrisi terbaik untuk anaknya karena, kata Kindar, lewat ASI-lah ia mampu menunjukkan tanda cinta seorang ibu untuk buah hati. Baginya, ASI perah adalah caranya menjalin keterikatan dengan sang anak saat ia tak mampu mendampingi karena harus menjalankan tugas.
Ia pun berharap adanya tambahan tenaga fungsional penilai karena jumlah mereka yang makin lama makin sedikit sedangkan tugas tidak pernah berkurang, bahkan bertambah. Namun, meskipun Fungsional Penilai Perempuan jumlahnya sedikit, ia berharap bahwa lewat profesi ini, ia bersama rekan-rekannya mampu membuktikan bahwa mereka adalah bagian dari perempuan-perempuan tangguh DJP yang ikut serta berperan aktif dalam pengamanan penerimaan negeri ini.
Dengan bekerja yang diniatkan sebagai ibadah itulah, Kindar merasai bahwa pahit manis pengalamannya hanyalah sebagian karunia yang telah dilimpahkan Tuhan agar warna-warni hidupnya tetap terjaga.
Kindar pun mengingatkan kita akan Kartini, yang juga merasai bahwa hidup akan baik-baik saja walau sebelumnya pernah diwarnai kepahitan. Kartini menulisnya dalam surat yang dikiri pada Nyonya J.H. Abendanon, 13 Agustus 1900: “Indah dan nikmat hidup ini meski di baliknya banyak kepedihan dan kegelapan. Bukankah kegelapan ini justru akan membuat cahaya itu tampak lebih terang? Maksud Tuhan terhadap kita baik. Hidup ini diberikan kepada kita sebagai rahmat dan tidak sebagai beban; Kita manusia sendiri umumnya membuatnya jadi kesengsaraan dan penderitaan. Betapa baik maksud Pencipta terhadap kita..”