resensi

Ada Apa Dengan Cinta 2: Akhir Kisah yang Sudah Diduga

aadc2
gambar dari sinopsisfilm21.com

Setelah 9 tahun berpisah, sepasang laki-laki dan perempuan yang pernah saling mencintai bertemu kembali secara tidak sengaja. Sembari menekuri ingatan-ingatan yang jauh, mereka terlibat percakapan panjang nun emosional. Jalan dan lanskap kota disusuri, romansa pertemuan pun memanggil reaksi kimiawi, dan perasaan-perasaan yang terkubur mampu tumbuh kembali. Namun, kesemua cerita itu berakhir ketika salah seorang harus kembali ke kehidupannya semula.

Tukilan cerita itu bukanlah sinopsis film Ada Apa Dengan Cinta? 2 (AADC 2), melainkan ringkasan film kedua dari trilogi film yang disebut-sebut paling romatis sepanjang masa: Before Sunset. Dua tokoh utama, Jesse dan Celine, bertemu kembali di Paris setelah rentang waktu 9 tahun meninggalkan keduanya. Sebelumnya, mereka bertemu dalam sebuah perjalanan satu malam yang membekas pada kenangan yang indah dan dibingkai apik dalam film pertamanya: Before Sunrise.

Alur seperti itulah yang nampaknya berusaha dipahat oleh Trio Riri Riza-Mira Lesmana-Prima Rusdi dalam AADC 2. Rangga (Nicholas Saputra) dan Cinta (Dian Sastrowardoyo) menjadi tokoh sentral seperti Jesse dan Celine. Mereka saling bertukar cakap hampir di sepanjang film. Tiap dialog bagaikan potongan teka-teki jigsaw yang disusun perlahan untuk menceritakan histori masing-masing tokoh dalam kurun waktu 9 tahun terakhir (Rangga dan Cinta dikisahkan terakhir bertemu di tahun 2006).

Namun, Riri-Mira-Prima mengambil pendekatan berbeda dari Richard Linklater-Ethan Hawke-Julie Delpy. Riri dkk sepertinya juga ingin menambahkan ornamen berupa pesona kesenian dan nuansa kota Yogyakarta selain pergumulan dialog-dialog panjang antar dua tokoh utama. Maka, durasi AADC 2 tidak hanya dibagikan pada adegan obrolan dan lanskap, tetapi juga cerita tentang penjlentrehan seni dan budaya. Perihal ini pada akhirnya mengurangi intensitas dan kompleksitas dialog antara Rangga dan Cinta.

Memori “Before Sunrise” yang menguar

AADC 2 mengambil latar waktu 14 tahun setelah film Ada Apa Dengan Cinta (AADC). Cerita dimulai dengan berkumpulnya Cinta, Maura (Titi Kamal), Milli (Sissy Priscilla), Mamet (Dennis Adhiswara) dengan pasangan masing-masing untuk menunggu Karmen (Adinia Wirasti) yang dikisahkan baru kembali dari proses rehabilitasi karena ketergantungan obat. Ajang temu muka di galeri seni milik Cinta ini bermuara kepada dua rencana: Geng Cinta yang akan pergi berlibur ke Yogyakarta dan rencana pernikahan Cinta dengan tunangannya, Trian (Ario Bayu).

Sementara itu di sudut Brooklyn, New York, Rangga menjalani rutinitasnya sebagai pemilik sebuah kedai kopi bersama kedua temannya sembari menjadi kolumnis tetap di sebuah majalah. Suatu pagi, Rangga dikejutkan oleh kehadiran gadis muda yang ternyata adalah adik tirinya. Sukma (Dimi Cindyastira), nama gadis muda itu, mengabarkan ihwal keberadaan ibunda Rangga yang kini sakit dan tinggal di Yogyakarta. Kecamuk pikiran pun membawa Rangga dalam usaha memaafkan Ibunya dengan terbang menuju Yogyakarta.

Yogyakarta akhirnya menjadi latar utama dari keseluruhan film ini. Rangga dan Cinta, setelah melalui beberapa friksi, akhirnya bersepakat untuk bertemu dan mencoba berdamai terhadap masa lalu mereka masing-masing. Tapi, masa lalu memang sesuatu yang tak teraih dan kadang tidak bisa dijelaskan. Alih-alih selesai, percobaan berdamai antara mereka berkembang menjadi sebuah kisah baru.

Setelah titik ini, film hanya menyoroti Rangga dan Cinta dalam rendezvous panjang mereka. Mereka berpindah-pindah dan saling berbicara hingga pagi menjelang. Tak ayal, fragmen-fragmen inilah yang membuat uar memori tentang film Before Sunset dan Before Sunrise hadir sekaligus.

aadc2-v
gambar dari sinopsisfilm21.com

Dua pekerjaan yang gagal

Sebagai sebuah sekuel, ada dua pekerjaan besar yang harus dilakukan oleh sang pembuat film. Pertama, membuat pertalian cerita dengan film sebelumnya, dan kedua adalah membangun kekokohan jalinan cerita film sebagai sebuah entitas sendiri. Riri dkk, dalam AADC 2, gagal menyelesaikan dua pekerjaan besar tersebut. AADC 2 pun jatuh ke dalam pusaran romantisme AADC dan transisi gambar-gambar yang indah belaka.

Dari sisi cerita, Riri dkk tampak sangat tergesa-gesa mengadaptasi Before Sunrise dan Before Sunset ke dalam perspektif Rangga dan Cinta. Jika dalam AADC setiap dialog yang diucapkan Rangga dan Cinta betul-betul quotable, maka hanya sedikit dialog di AADC 2 yang betul-betul “membunuh”. Beberapa dialog bahkan hanya berupa negasi logika yang sudah dilontarkan di AADC, seperti “dulu kamu kalau lagi bingung nyenengin, sekarang nyebelin” atau dialog terakhir yang berkutat di kata-kata “terakhir kali saya ketemu kamu…”.

Dialog antara Rangga dan Cinta pun terasa miskin dengan bahan obrolan mereka yang sangat biasa. Mengingat Rangga dan Cinta adalah manusia yang lahir dari rahim buku dan (terutama) puisi, dialog mereka malah terjebak dalam usaha menjadi kekinian. Jika AADC mengangkat perbincangan buku “Aku”, AADC 2 tidak membicarakan buku atau puisi sama sekali. Padahal beberapa pernik yang terlintas di film ini sangat bisa dieksploitasi lebih lanjut menjadi dialog yang kaya seperti kedua orang ini yang sama-sama memiliki buku puisi “Melihat Api Bekerja”, Rangga yang memiliki banyak buku Haruki Murakami, Cinta yang memiliki galeri seni kontemporer, dan yang paling disayangkan adalah tulisan terakhir Rangga yang ditunjukkan Roberto, “Wondering in Orwell’s Shoes”, yang tidak berujung apa-apa. Puisi pun, yang dibacakan secara aduhai Nicholas Saputra, cuma menjadi latar suara adegan-adegan Rangga dan Cinta.

Riri Riza tampak serba tanggung mengaduk unsur-unsur yang dia comot dalam membangun suasana film ini. Riri mencoba menyajikan kesenangan travelling dalam balutan dialog serta adegan-adegan avonturis perjalanan Rangga dan Cinta ke tempat-tempat eksotis. Usaha ini pernah dilakukannya dalam film 3 Hari untuk Selamanya. Sayangnya, hasil yang diperoleh AADC 2 jauh lebih buruk. Tempat eksotis seakan hanya berfungsi sebagai latar tanpa terlibat lebih jauh dalam bagian film. Rangga dan Cinta hanya melontarkan puji-pujian keindahan terhadap latar dan suasana yang ada di sekeliling mereka. Tak menerabas lebih.

Jalinan film ini sebagai entitas janin yang tumbuh sebagai sebuah film otonom pun lemah dengan plot yang berlubang. Karakter-karakter baru yang muncul terkesan hanya digunakan sebagai dekorasi kisah panjang Rangga-Cinta. Trian, misalnya. Ia seperti bingkai foto yang ditampilkan untuk memberi bumbu melankolia. Trian hanya hadir di awal dan menjelang akhir film saja dalam konflik yang mudah sekali dinyana. Pun juga dengan Sukma dan Ibu Rangga (Sarita Thaib). Mereka seakan ada hanya sebagai alasan untuk “memulangkan” Rangga ke Indonesia.

Sebaliknya, ketiadaan satu karakter besar di AADC 2, Alya, juga menimbulkan ceruk yang menganga. AADC memiliki cerita yang kuat tidak hanya karena pasang surut hubungan Rangga dan Cinta, tetapi juga konflik keluarga Alya yang membuat Cinta dihadapkan dilema antara persahabatan dan cinta. Alya, sahabat terdekat Cinta, memiliki sikap penyabar dan tenang yang melengkapi keunikan Maura, Karmen, dan Milli. Komposisi sifat mereka berlima membuat keseimbangan emosi geng Cinta terjaga sehingga anyaman cerita terasa sangat pas. Ketiadaan Alya membuat keseimbangan itu hilang. Dilegitimasi atau tidak, peran Alya berusaha direposisi sedemikian rupa ke tokoh-tokoh lain. Maka di film ini kita bisa melihat Karmen yang menjadi super perhatian, Cinta yang mudah luluh, hingga Rangga yang kehilangan keteguhannya di saat-saat tertentu.

Lubang juga terasa lewat cerita yang timbul belakangan karena adanya tokoh yang terlanjur “dihadirkan” di awal. Beberapa adegan pun menjadi tidak berkelindan dengan jalinan cerita yang dipaparkan dalam alur film, seperti pertemuan Rangga dan Ibunya yang terkesan hanya formalitas belaka.

Sepertinya, AADC 2 memang diniatkan hadir sebagai pengakhiran dari hubungan Rangga dan Cinta seusai perpisahan yang monumental di bandara. Maka dari itu, setiap benang cerita pada akhirnya menuju akhir yang tidak mengagetkan lagi. Hampir tidak ada riak-riak yang membuat penonton berpikir akhir kisah cinta mereka akan berbeda dari ekspektasi awal. Semuanya tepat seperti apa yang diinginkan.

Tidak semuanya buruk

Film ini memang bukan film cinta dengan kualitas cerita yang prima. Namun, bukan berarti ini film buruk. Ada sisi-sisi baik yang mampu disajikan dalam film ini. Sissy Priscilla, misalnya, tampil sangat menawan membawakan persona Milli. Karakter Milli masih terasa otentik walaupun usianya telah bertambah belasan tahun.

Nicholas Saputra dan Dian Sastro juga bermain baik. Tak mungkin dielakkan bahwa di antara kedua orang ini telah terjalin kimiawi yang kuat. Mengutip Sanford Meisner, lakon mereka terasa natural karena mereka tidak terlihat seperti sedang berperan.

Lalu, kita tentu saja sangat mengapresiasi bagaimana AADC 2 membangkitkan kegairahan masyarakat Indonesia kepada puisi. Ketika AADC berhasil membuat remaja-remaja ketagihan berpuisi bernas ala Chairil Anwar, kini baik tua maupun muda melongok kenikmatan permainan bahasa Aan Mansyur. Cetakan pertama buku “Tidak Ada New York Hari Ini” yang berisi puisi-puisi Rangga di AADC 2 pun dilahap habis hanya dalam satu hari. Tampaknya puisi-puisi Rangga masih akan menjadi anthem dan bakal terus berlarian di media sosial sebagai quote.

AADC adalah film milik satu generasi. Generasi yang sama yang menghendaki jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang muncul setelah menonton film AADC. Ketika AADC 2 hadir sebagai jawaban yang absen tersebut, memang sebaiknya film ini ditletakkan dalam kerangka nostalgia akan romantisme kisah film pertamanya. Tak perlu berharap ada pendalaman yang lebih. Kita mungkin akan menontonnya berulang-ulang karena film ini memberikan kepuasan pada kita yang terus mencari pengakhiran atas sebuah kisah yang melegenda. Tapi kita juga tahu bahwa bentuk pengakhiran itu pun sebenarnya sudah kita duga sejak awal.

Judul: Ada Apa Dengan Cinta? 2
Tahun Produksi: 2016
Durasi: 124 menit
Sutradara: Riri Riza
Pemeran: Nicholas Saputra, Dian Sastrowardoyo, Adinia Wirasti, Titi Kamal, Sissy Priscilla, Dennis Adhiswara
Penulis: Mira Lesmana dan Prima Rusdi
Produksi: Miles Films, Legacy Pictures
Negara: Indonesia

One Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *