Di Sini Tidak Dilarang Mencintai Bunga-Bunga
tentang perjalanan saya ke Taman Bunga Nusantara
Malam teramat larut. Jarum pendek jam tangan sudah menyentuh angka 11 saat ujung motor saya terantuk batas parkir. Adik saya, istrinya, serta anak mereka (keponakan saya) pastilah sudah tidur. Untungnya, Ibu, yang sedang menginap di tempat adik, bisa saya usik untuk membukakan pintu.
Malam itu, mau tak mau, saya harus sudah sampai di Rawamangun, kediaman adik saya, karena keesokan paginya si adik mengajak pergi ke tempat yang sepertinya menarik betul. Permasalahnnya cuma satu. Tempat yang konon bisa membuat mulut bergetar dan lidah tanpa sengaja berdelucak “amboi” itu sungguh jauh dengan Jakarta. Jarak yang membentang dari Rawamangun, tempat keberangkatan, ke tempat tujuan lebih dari 80 km. Dan jarak, seperti halnya rindu, tak bisa ditenggang. Kami pun harus berangkat pagi buta, sebelum fajar mulai memperkosa malam dan siang merobek-robek kegelapan.
Lantas di sinilah kami sekarang, di atas mobil yang menderu merayapi jalan tol Jakarta – Bogor. Tujuan kami adalah Taman Bunga Nusantara, tempat bunga-bunga terindah dunia dikumpulkan di atas lahan seluas 5 hektar.
Taman Bunga Nusantara berada di Kabupaten Cianjur, Jawa Barat. Untuk mencapainya, kami, yang berangkat dari Jakarta, harus melangkahi aspal Kabupaten Bogor sebelum mengetuk pintu gerbang Kabupaten Cianjur. Itu jalan paling cepat. Padahal, seperti kita tahu, siapa pun yang berikhtiar untuk melalui Kabupaten Bogor berarti harus menyiapkan banyak-banyak stok kesabaran yang siap digerus arus jalanan Puncak yang konon lebih riuh daripada neraka lapis terendah.
Maka, teranglah alasan kenapa kami harus berangkat sepagi ini. Kesiangan sebentar saja, kami bakal bertemu antrian kendaraan di Puncak yang mengular dan menarik kami menjadi bagian dari suku pemboros bahan bakar.
Kami tiba di Taman Bunga Nusantara tepat pada saat azan zuhur menggema. Perjalanan menjadi agak lama karena kami memutuskan untuk mampir ke Kota Bunga, perkara yang saya ceritakan lain kali. Untunglah, macet dan ular-ularan mobil tidak kami temui selama roda mobil kami melindas aspal Jakarta hingga Taman Bunga.
Taman Bunga Nusantara, siang itu, dipayungi riak-riak awan yang mendung. Langit seperti berjelaga. Tidak ada cahaya matahari yang berenang melalui dedaunan dan menampilkan garis-garis berwarna asfar.
Walaupun demikian, Taman Bunga Nusantara tetap dijejali manusia. Puluhan orang mengantri di depan loket. Puluhan lainnya, yang sudah bertiket, berada di ambang pintu masuk areal Taman Bunga Nusantara.
Sementara menunggu adik membeli tiket, saya melirik Gunung Gede di kejauhan. Ia berdiri kokoh bak latar dari hamparan mobil yang parkir berjajar sekaligus memperlihatkan kontradiksi alam dan para pecandu eksploitasinya. Pemandangan gunung yang masih hijau beradu dengan deretan kuda besi. Benda-benda yang sama-sama digunakan untuk memenuhi kebutuhan manusia tapi keberadaannya saling mengancam. Mobil, yang jumlahnya kian banyak, terus memproduksi polusi yang mengancam keberlangsungan hidup pohon-pohon dan hutan, bahkan keberlangsungan hidup Bumi. Sebaliknya, pohon-pohon harus terus berjuang untuk bertahan hidup dan melawan polusi dengan atau tanpa harapan akan kesediaan manusia untuk membantu perjuangan mereka.
Namun demikian, di sisi lain, hamparan mobil juga menunjukkan banyaknya orang yang ikut bahu-membahu membangun dan menjaga keindahan Taman Bunga Nusantara. Dari kantong mereka, lembar-lembar tiket masuk ditebus dan uang hasil penjualannya digunakan untuk perawatan, pembibitan, dan perbaikan segala fasilitas. Mereka membantu merawat pohon-pohon juga, walaupun ketika pulang mereka akan kembali jadi bagian dari polusi. Mungkin memang demikianlah wajah manusia. Mereka merusak sekaligus memperbaiki. Menghancurkan sekaligus membangun.
“Kak, ayo masuk!”
Seruan adik membuyarkan lamunan. Saya pun segera menyeret langkah. Di dalam areal Taman Bunga Nusantara, orang-orang sudah berlalu lalang. Perkiraan saya, sedikitnya 400 orang sudah tersebar di sekujur taman. Jumlah yang banyak. Apalagi jika mereka hanya datang untuk melihat bunga-bunga.
Mengapa orang-orang rela berjalan demikian jauh untuk melihat bunga-bunga?
“Untuk ketenangan jiwa.”
Kalimat itu begitu saja mengetuk dari dasar ingatan dan minta keluar. Tentu bukan saya yang membuat kalimat itu. Saya hanya teringat sebuah dialog dari cerita pendek Kuntowijoyo berjudul Dilarang Mencintai Bunga-Bunga.
Dilarang Mencintai Bunga-Bunga bercerita tentang seorang anak laki-laki yang bersahabat dengan seorang kakek. Kakek ini memperkenalkannya dengan bermacam-macam bunga, mengajarinya pandangan hidup yang mengutamakan ketenangan jiwa, dan mengajaknya untuk berpikir menerjemahkan simbol-simbol bunga.
Ketenangan jiwa sendiri dijelaskan oleh Kakek dengan memperbandingkannya dengan hal-hal di luar bunga. Matahari yang membakar, katanya, lalu kendaraan yang hilir mudik. Orang-orang yang berjalan ke sana kemari memburu waktu. Pabrik-pabrik yang berdentang. Mesin yang berputar. Orang yang bertengkar tentang harga. Tukang copet yang memainkan tangannya. Pemimpin yang meneriakkan semboyan kosong. Kesemua hal tersebut dianggap kakek tidak ada gunanya. Hidup, menurut kakek, ditemukan dalam ketenangan. Dan memandangi bunga-bunga adalah salah satu jalan yang dapat disusuri untuk mendapatkan ketenangan itu.
Bunga, setidaknya, bisa membius kita dengan tiga cara. Lewat bentuknya, warnanya, serta wanginya. Bunga mawar dan melati, yang sering kita sebut dalam nyanyian semasa kecil, adalah contoh perwujudan tiga unsur tadi secara lengkap pada satu bunga. Warna dan bentuk yang cantik ditambah wanginya yang menyegarkan membuatnya tak bakal bisa ditampik. Saya sendiri merasa nyaman kala berlama-lama memandangi mawar dan melati. Ada ruap harum yang selalu tercium, ditambah warnanya yang sungguh menyenangkan.
Tapi, tentu tidak hanya mawar dan melati. Kita bisa menyebutkan semua jenis bunga yang ada di Taman Bunga Nusantara, misalnya, sebagai bunga-bunga yang memberikan rasa nyaman tanpa salah sedikit pun. Ketika masuk, kita sudah disuguhi merah yang khas dari begonia. Kemudian di area Taman Air, kita bisa menyebut keindahan Kana Air atau Thalia Dealbata, Lotus atau Nelumbo Nucifera, Teratai Raksasa atau Victoria Amazonica, dan Giant Arum atau Typonodorum Lindleyanum. Bunga-bunga itu mampu membuat mereka yang duduk di pinggiran kolamnya mampu termenung dalam-dalam ketika jauh memandani tenangnya air.
Lalu, kita bisa juga menyebut anyaman mawar di Taman Mawar, rangkaian bunga warna-warni yang dibingkai Perdu Taiwan Beauty di Taman Perancis, atau tatanan bermacam bunga taman di tengah Taman Labirin, sebagai jenis tanaman lain yang memberikan kenyamanan serupa.
Selain itu, saya juga menemui titik-titik reflektif di Taman Bunga Nusantara. Di menara pandang, saya bisa belajar tentang kebingungan manusia kala melihat rombongan manusia yang kesulitan menembus lika-liku Taman Labirin tanpa peta. Sementara di Taman Gaya Jepang, saya bisa merasakan kesunyian yang sangat. Batu-batuan, kayu, kolam, gerakan air, dan tanaman-tanaman rindang membentuk citra yang memisahkan hiruk-pikuk di luar dan menyisakan kebisuan udara di dalam. Kita bisa, seperti orang Jepang, memisahkan penat lalu meletakkannya di luar tubuh dengan duduk mencari ketenangan jiwa di tengah taman ini.
Namun, laiknya ambivalensi yang melekat dalam hal apapun, mencintai bunga-bunga juga melibatkan perkara kesedihan. Menikmati bunga adalah jalan yang jauh menuju ketenangan jiwa. Bunga, seakan tidak dekat dengan kehidupan sehari-hari kita. Saya hampir tidak bisa mengingat lagi kapan terakhir kali saya melihat bunga tumbuh di pekarangan rumah seseorang. Jika pun ada, saya menemuinya di rumah dengan pagar yang tinggi dan bangunan yang megah. Rumah seperti ini hanya bisa memberi isyarat bahwa sang pemilik cenderung sibuk berada di luar rumah untuk mencari nafkah dan pulang ketika hari telah menjelma gelap, sehingga tidak sempat menemui bunga-bunga yang tumbuh di pekarangannya. Rumah ini juga memberi petunjuk tentang kesombongannya di mana para pelintas tidak bisa ikut menikmati bunga-bunga itu karena terhalang pagar yang demikian tinggi. Belum lagi parit lebar di depan rumah yang menambah ketidakmungkinan untuk melongok ke dalam pagar.
Sedangkan, perkantoran nyaris tidak menyediakan taman bunga. Kantor adalah kumpulan beton, kubikel, jendela, dan berkas-berkas yang menumpuk. Pekarangan yang seharusnya bisa dijadikan taman pun habis ditimpa paving dan semen untuk dijadikan tempat parkir. Kalaupun ada taman, luasnya sangat timpang dibanding luas keseluruhan kantor. Mana mungkin ketenangan jiwa bisa ditemui di perkantoran yang penuh benda mati seperti itu?
Benar belaka suara Kuntowijoyo dalam tokoh kakek di Dilarang Mencintai Bunga-Bunga. Hidup tidak ditemukan dalam hiruk pikuk dunia. Hidup ditemukan ketika kita sudah berada pada sebuah ekstase ketenangan, yang dapat ditemukan ketika menatap warna dan bentuk bunga-bunga.
Oleh karena itu, saya bisa memahami perasaan mereka yang berjalan jauh demi menemui bunga-bunga di Taman Bunga Nusantara. Karena saya pun demikan. Saya butuh memandangi bunga, menyesapi harumnya, duduk di antara taman-tamannya, hingga mengamati mereka yang turut menikmati keindahan yang sama. Saya butuh menutup sejenak pintu hiruk-pikuk dunia dan memaknai hidup dari keindahan yang hidup juga.
Sehingga kemudian, saya pun merasa bahwa saya tidak mungkin tidak mencintai bunga-bunga karena lewat perlawatan sederhana ke Taman Bunga Nusantara, meskipun mungkin ini terasa klise, saya menemukan juga ketenangan itu. Mungkin memang belum sempurna, tapi ketenangan yang saya rasakan bisa mengusir penat yang bergumul di kepala akibat resultan tekanan pekerjaan dan kehidupan Jakarta.
Selain itu, di sini, di Taman Bunga Nusantara, menikmati bunga adalah keleluasaan yang bisa dinikmati semua orang. Kita bisa datang dan menikmati bunga sepuasnya tanpa penghakiman dari siapa pun. Mengapa demikian? Karena kita pernah berada pada masa di mana afeksi terhadap bunga-bunga diasosiasikan dengan gender tertentu.
Dalam cerpen Dilarang Mencintai Bunga-Bunga tadi, si anak dilarang oleh ayahnya untuk bersahabat dengan sang kakek dan mencintai bunga-bunga. Kata ayahnya, “Laki-laki tidak perlu bunga, Buyung. Kalau perempuan, bolehlah. Tetapi engkau laki-laki.”
Masa itu telah lewat. Tapi mungkin saja di suatu tempat masih ada pandangan machoisme seperti itu. Tapi, tidak di sini. Setiap orang bisa saja datang ke Taman Bunga Nusantara untuk mencintai bunga-bunga dengan setulus-tulusnya, seikhlas-ikhlasnya, lalu bisa menjinakkan jiwa setenang-tenangnya, tanpa ada penghakiman dari siapapun. Karena di sini, Taman Bunga Nusantara, kita tidak dilarang mencintai bunga-bunga.
“Grrudu…grruduk…gruduk,” suara petir terdengar di kejauhan.
Saya memandangi jelaga langit yang semakin pekat. Tak berapa lama, hujan datang perlahan. Gelap mengubah warna-warna dan menimbulkan sebuah nuansa. Sambil berlari kecil, saya meninggalkan tempat persemaian bunga terbesar di Asia Tenggara seraya berucap pelan: “Selamat datang tekanan pekerjaan. Sampai jumpa bunga-bunga dan ruang ketenangan.”
86 Comments
Nunung Yuni
Baru pertama kali mampir ke sini.Waaaaw…suka bacanya
Kok bisa ya nulis cerita perjalanan dengan bahasa yang indah banget gitu. Tulisan terakhirku juga Taman Bunga Nusantara. Tapi biasa pakai banget. Besok-besok kali mampir lagi ke sini.
Meidiawan Cesarian Syah
Makasih Mbak Yuni. Wah iya barusan saya blogwalking ke tempat mbak Yuni juga.
Salam kenal ya mbak, Masih baru dalam dunia jalan-jalan dan blogging hihihi
gus bolang
wah banyak si bunga ….
yang buat mata merem melek sumpah indah bray
Meidiawan Cesarian Syah
hahaha iya Gus. Indah. Apalagi kalau bawa tustel, bisa foto sepuasnya.
Leyla
Cantik banget tamannya. Mau ke sini juga deh.
Meidiawan Cesarian Syah
hihihi belum pernah, mbak? Saya sarankan bawa kamera mbak. Warna-warni bunganya indah banget buat difoto~
Dian Safitri
Aku paling betah ke taman bunga nusantara ini. Sayang butuh perjuangan banget ya.
Tapi bener, tempat ini tepat buat yang butuh ketenangan jiwa.
Meidiawan Cesarian Syah
waktu mau pulang, aku harus melewati jalan kecil yang muat dua jalur doang mbak. Itu antrian macetnya bikin pengen istighfar terus. Perjuangan banget buat dateng dan pulang. Makanya kemaren berusaha selama mungkin nongkrong di sana
Fubuki Aida
Tempatnya cantik. Suatu hari moga bisa kesana
Meidiawan Cesarian Syah
disempetin mbak. Kalo memungkinkan malah pas hari kerja aja gitu. Sapa tau lebih sepi jadi lebih enak #eh
ikrom
eh asik
pengen foto yg ada dinosaurusnya
Meidiawan Cesarian Syah
iyaa, sayangnya brontosaurusnya rentan banget kalo mau dinaikin. Bisa jatuh kita haha
Hastira
wah kesini lagi anak2 masik kecil dan dekat dg rumah mertuaku
Meidiawan Cesarian Syah
ke sini lagi aja mbak. Kalo bisa cari waktu yang pas biar puas main-main dan ngelilingin tamannya