perjalanan,  upakyana

Menjejak Blauran, Melihat Klandasan

Di dalam mobil itu, mulut saya tiba-tiba menyalak seperti anjing yang sedang berseru-seru. Saya terkejut, tentu saja, setidaknya pada dua hal: keluwesan saya mengabsen nama-nama binatang, dan pada sumpah serapah itu sendiri. Tidak biasanya saya lancar mengumpat ketika mengemudi. Apalagi permasalahannya sepele: salah menggeser tuas lampu sen.

Mungkin benar belaka kalau saya kelabakan akibat terlalu bersemangat, atau terlalu waswas karena tawaran kawan saya sungguh menggiurkan. Siang itu, saat matahari sedang mengerat langit Balikpapan dengan hangat-hangatnya, saya diajak mengunjungi Pasar Blauran Klandasan.

Jelas saja saya begitu bersemangat. Pasar Blauran Klandasan adalah sebuah tempat di mana banyak warga Balikpapan menumpahkan waktu dan hidup, serta membangun kehidupan. Dan, cerita tentang orang yang menyambung hidup adalah kisah yang tak akan bosan kamu dengarkan.

Maka, ketika tertinggal dari rombongan kawan-kawan yang sudah berjalan, saya pun panik. Sudah di kota orang, tak tahu arah, terancam “kesasar” pula karena masih adaptasi dengan mobil. Seharusnya saya tergesa-gesa mengikuti jejak. Tapi apa nasib. Saya masih beradaptasi dengan mobil ini: Sebuah mobil Eropa yang letak tuas lampu sen dan wiper-nya berlawanan dengan mobil Asia. Walhasil, saya berkali-kali salah menggeser tuas ketika hendak berputar atau berbelok. Kalau ini namanya geblek, sudah pasti saya mengidap jenis yang paling paripurna.

Untunglah, segala kegeblekan itu terbayar juga ketika saya berhasil mengejar kawan saya hingga tiba di Pasar Blauran Klandasan. Meskipun, di sepanjang perjalanan, sumpah serapah mengalir dari mulut saya seperti air bah yang turun setelah jebolnya tanggul.

Melihat Pasar Blauran Klandasan membuat saya bersegera memutar rekaman tentang pasar yang saya simpan. Bagi orang Jawa seperti saya, pasar adalah sebuah ekosistem multikultur. Semua orang tumplek-blek di sana. Gerbangnya selalu terbuka bagi siapa saja yang hendak datang untuk berbelanja.

Tapi, pasar juga tidak bisa direduksi sebagai tempat jual beli semata. Pasalnya, selain penawaran dan permintaan, pasar juga mempertemukan bermacam nasib. Setiap orang yang berada di pasar mengangkut susah, senang, sedih, dan tawa dalam diri mereka masing-masing.

Para penjual bisa jadi adalah mereka yang sudah menyerahkan hampir seluruh usianya untuk menjajakan dagangan, setiap hari, dari fajar hingga senja. Para pembeli juga rupa-rupa manusia yang datang dengan keinginan dan kebutuhan yang berbeda. Belum lagi para preman, tukang becak, penjaga parkir, dan aneka profesi lainnya. Kala mereka saling bersua, ucapan dan gestur masing-masing akan membuka ruang-ruang cerita. Saat itulah, nasib-nasib itu akan kita rasai, dan kita sadar kalau pasar telah memproduksi kisah yang sungguh bermacam aneka.

Pengincaran berjamaah terhadap janda yang masih ranum karena ditinggal suaminya kelon dengan perempuan lain dan pemuda yang dicintai habis-habisan oleh seorang perempuan separuh baya adalah dua dari sekian banyaknya kisah pasar yang pernah saya dengar.

Dan di sini, di Klandasan, ruang-ruang cerita itu bakal semakin berbiak. Sebab, tepat di punggung pasar, sebuah pelabuhan kecil berdiri menghadap Selat Makassar. Jadi, kalau wajah-wajah Balikpapan saja kau anggap belum habis bercerita, maka angin dari Selat Makassar akan menambahnya dengan kabar lain yang dibawa dari bumi Sulawesi sana.

Cerita-cerita itulah yang saya bayangkan bakal bisa saya iris dan rekam lewat mata saya dan mata kamera. Jadi, dimulai dari ujung kanan pasar, saya menggelandang diri. Di seluk gang dan selasarnya, saya menyusuri kios demi kios, bertemu penjaja demi penjaja, dan memotong pemandangan demi pemandangan lalu menyimpannya sebagai gambar.

Dan dugaan saya mungkin memang benar belaka. Cukup menyusur dari empat penjuru mata angin saja, saya sudah mendapat kesan kalau isi dari Pasar Blauran Klandasan amatlah beragam.

penjaja pisang di Pasar Blauran Klandasan
Pisang-pisang yang dijual di salah satu selasar

Di sebelah barat bagian muka, saya menemui apa yang biasa dijaja di pasar tradisional: penjual buah-buahan yang warnanya sungguh maklhegender. Amboi dipandang. Pepaya, mangga, pisang, dan jambu -seperti lirik lagu yang sering dinyanyikan anak-anak- yang rasa manisnya sudah tercium hanya dengan membaui saja dijual olehnya.

Penjual pulsa di salah satu sudut Pasar Blauran Klandasan
Penjual Sepatu di salah satu sudut Pasar Blauran Klandasan
Pedagang Bendera di Pasar Blauran Klandasan

Kemudian, kala menyeberang sedikit ke tengah, saya melihat penjaja barang-barang kelontong bertebaran. Ember, baskom, sapu, kursi, kemoceng, hingga pengki, pun dijejer menggunung-gunung. Ada juga penjual bendera, sepatu, serta penjaja makanan ringan, sedang, dan berat kalau kau masuk lebih ke tengah.

Penjual DVD melayani salah satu pelanggannya

Di sisi sebelah kiri, saya menemui beberapa lapak penjual DVD. Mereka menjual DVD film dan musik. Dagangan mereka yang paling laris adalah rekaman konser. Tentu yang dimaksud bukan konser Coldplay, Metallica, maupun Noah, apalagi Haddad Alwi. Yang paling laris adalah rekaman puluhan Orkes Melayu ketika sedang melawat dan berdendang dari alun-alun satu ke alun-alun kota lain.

Penjual Sayur Mayur
Salah satu dagangan di Pasar Blauran Klandasan
Salah satu dagangan di Pasar Blauran Klandasan
Para Pengunjung Pasar yang sedang memilih belanjaan
Pengunjung di Pasar Blauran Klandasan
Penjual Ikan Segar di Pasar Blauran Klandasan
Penjual Ikan Segar di Pasar Blauran Klandasan (2)

Seperti pasar pada umumnya, sektor sayuran, dan daging segar terletak di satu kompleks. Saat berada di sektor sayuran, saya bertemu ibu-ibu penjual yang sangat ramah. Mereka, beberapa kali saya tangkap, sedang saling serang celetuk. Tawa pun selalu enteng untuk dilempar. Berbeda sekali dengan area daging segar yang penjualnya lebih sering memasang tampang garang.

Sampai di sini, semuanya masih terlihat biasa saja. Tapi, semakin ke belakang dan beberapa kali melewati gang yang lebih kecil, saya mendapati hal yang tidak pernah saya temui di pasar-pasar pulau Jawa: deretan salon kecantikan.

Deretan Salon di Salah Satu Lorong Pasar Blauran Klandasan
Salon yang berhadapan dengan warung-warung makanan
Seorang pelanggan sedang dilayani di sebuah salon

Saya menghitung setidaknya ada sekitar enam atau tujuh salon yang saling berhimpit di satu jalan yang lengang. Tapi, hanya satu atau dua salon saja yang berisi pelanggan. Sisanya kosong. Para pelanggan itu sedang dicat dan dicukur. Waktu saya membidikkan kamera, mereka -kapster dan pelanggannya- tertawa malu, juga tampak sedikit bercampur kesal karena tidak terlalu suka difoto. Setelah mengambil beberapa gambar, saya berlalu sambil memberikan mereka sedekah terbaik yang saya punya, senyuman, kemudian melangkah ke bagian paling belakang pasar.

Pasar Ikan di Pelabuhan belakang Pasar Blauran Klandasan
Seorang lelaki paruh baya sedang memancing di anjungan\
seorang lelaki paruh baya sedang memancing di anjungan

Dan di bagian paling belakang inilah wajah pasar berubah. Hawa pasar menghilang. Di anjungan yang menjorok ke Selat Makassar, saya menemui wajah-wajah yang biasa ada di pelabuhan: nelayan yang sedang melepas lelah dengan bermain kartu, anak-anak dengan rambut menguning dan senyum lepas, jala yang teronggok, juga beberapa warga yang duduk dan memancing sekenanya.

Saya mengambil beberapa gambar, termasuk anak-anak pelabuhan yang tertawa lepas itu. Mereka sangat mudah diakrabi. Dengan menunjukkan hasil fotonya saja, mereka mau bergaya lagi dengan pose-pose lain. Kau tidak mungkin tidak tersenyum melihatnya. Ingin rasanya berdiam dan bersenda gurau dengan mereka lebih lama atau ngobrol dengan bapak-bapak yang mengail ikan dengan khusyuk di anjungan itu.

senyum anak-anak pelabuhan
ada pelangi tipis di belakang mereka

Sayang, rintik hujan sudah tergopoh turun. Saya harus segera pulang. Dari jauh, tampak hujan membias cahaya menjadi larik-larik pelangi. Sedangkan dari dekat, tepat dari perut saya, dinginnya cuaca membuat lambung saya memainkan orkes yang riuh sekali walaupun tidak bisa direkam dan dijual sebagai DVD. Lapar tidak bisa ditolak. Saya pun mengambil langkah cepat ke jajaran warung yang tadi saya lewati di sisi Timur pasar.

Sore itu, di sela gerimis yang mencumbu tanah sekitar warung sisi Timur Pasar Blauran Klandasan, saya mengakhiri petualangan saya di Pasar Blauran Klandasan dengan mencicipi kabar baik lain yang dibawa angin dari bumi Sulawesi: satu mangkuk Coto Makassar, untuk mengusir gigil yang  mulai memanggil-manggil penuh tawa.

93 Comments

  • fanny fristhika nila

    melihat pasar tradisional ini, aku paling suka kalo masuk ke bagian bumbu2.. wangi rempahnya itu loh, :D.. ga ada yg ngalahin, suka banget… dan paling anti masuk ke los ikan ;p wkwkwkw.. becek dan baunya ga kuat ;p

    • Meidiawan Cesarian Syah

      waaahh, saya sih suka ke bagian sayur mayur mbak. Lihat yang hijau-hijau gitu rasanya seger banget di mata hehehe

  • Hastira

    di pasar tradisional banyak ceriat mulai dari ada mafia, tukang palak , tukang retenir semua ada di sana

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *