Wae Rebo: Asyik Bercantik Sendiri
Saya tidak mampu menghitung sudah berapa kali pipi saya tertampar angin pegunungan Manggarai yang sembribit itu. Sial. Pakaian yang saya kenakan tak tebal-tebal amat. Sementara, malam kian larut dan pendakian masih belum melalui separuh jarak. Mau tak mau, saya harus menerima udara yang membawa bonggol-bonggol dingin itu sebagai teman perjalanan hingga tiba di Kampung Wae Rebo, Manggarai, Nusa Tenggara Timur.
“Capek juga, ya. Masih jauh pula,” cerocos Irwan, rekan seperjalanan saya, yang tidak mampu menutupi bagaimana asam urat sudah menggerus tubuh mudanya.
“Namanya juga trekking, Mas,” saya menjawab pendek saja. Hemat napas, pikir saya. Trekking longa vita brevis. Hidup itu pendek, sedangkan trekking masih panjang.
Kami sepenuhnya sadar, sampai di Denge—desa terdekat dari Kampung Wae Rebo—saat matahari sudah tenggelam memang sebuah kesalahan. Pendakian malam tidaklah nyaman buat fisik kami yang sudah melampaui usia prima.
Tetapi, bukankah untuk menemui kecantikan memang seharusnya melalui luka terlebih dahulu? Lagipula, toh kelelahan selama perjalanan terkompensasi sempurna dengan payung langit yang berwarnakan bintang-bintang.
Masih ada sekitar satu kilometer lagi yang harus kami taklukkan untuk sampai di Wae Rebo. Tetapi, dari balik rentang pepohonan, kami sudah bisa mengintip pesona kampung yang disebut sebagai Desa Tradisional Tercantik di Indonesia itu. Tujuh Mbaru Niang, rumah kerucut berwarna hitam, tampak tenang bersembunyi di bawah selimut malam. Tidak ada apa-apa di sekelilingnya. Hanya diam dan sunyi yang sibuk menari.
“Sayang ya, kita harus dapat izin dulu kalau mau memotret. Padahal bintang lagi bagus-bagusnya,” gumam seorang teman. Saya mengangguk. Menaruh tripod dan mengambil foto dengan teknik long exposure adalah pilihan yang asyik kala melihat bintang seindah malam ini. Apalagi jika ditabrakkan dengan kesunyian rumah-rumah kerucut khas Wae Rebo. Tak butuh Payung Teduh untuk membuat saya menyanyikan tentang Indonesia yang sedang cantik-cantiknya.
Tetapi, keindahan itu tidak dapat diabadikan sebelum kami melakukan upacara Waelu’u.
Dalam adat setempat, Upacara Waelu’u harus dilakukan terlebih dahulu oleh para pengunjung sebelum beraktivitas di kampung. Upacara yang digelar di rumah utama yang dinamakan Niang Gendang itu dilakukan sebagai pernghormatan kepada leluhur setempat.
“Kayaknya besok pagi bakal lebih indah, deh. Dengan cuaca seperti ini, sangat mungkin halimun akan datang dan Wae Rebo bakal terasa lebih magis,” saya mencoba menawar kepahitan teman-teman yang menyeret muka lelahnya karena gagal mengambil foto. Saat kami sampai, Wae Rebo beserta penghuninya telah tertidur pulas. Kami, mau tak mau, juga harus mengikuti lelapnya.
Saat fajar akhirnya tiba dan Waelu’u telah dilakukan, kami pun sibuk terpukau akan pemandangan yang ada di depan mata.
Kecantikan Wae Rebo tak berhenti di raganya saja. Mereka juga memiliki kultur yang otentik, serta keramahan tak terpermanai. Para penduduk Wae Rebo, dengan santun dan ramahnya, meladeni ajakan saya mengobrol di sela aktivitas berkebun dan bertani.
Dari mereka, saya tahu kalau Wae Rebo menghasilkan kopi yang gaungnya terdengar hingga ibukota. Selain itu, penduduk setempat juga membuat kain tenun dengan corak khas Manggarai yang dijadikan buah tangan andalan penduduk setempat.
“Dibeli, yuk, Med,” suara Irwan memecah tatapan saya yang lekat mengagumi kain tenun dan kopi yang dipajang di dalam Mbaru Niang. “Sekalian membantu ekonomi desa ini bergerak,” tambahnya
Saya mengangguk dalam hati.
Dengan jarak tempuh selama 3 jam berjalan kaki ke desa terdekat, menghidupkan kecantikan Wae Rebo—yang ramah, yang penuh dengan senyum, yang mampu membuat penduduknya tetap tinggal—pastilah butuh tenaga yang tidak sedikit. Membeli produk-produk masyarakat setempat adalah salah satu cara untuk membuat nyala kecantikan itu tidak lekas habis.
Nyala kecantikan paripurna pun muncul ketika tiba-tiba kabut turun pelan-pelan di tempat setinggi 1.200 meter di atas permukaan laut itu. Matahari membuat kesunyian Wae Rebo terpapar cantik. Ia seakan terasing, sekaligus asyik sendiri, dan sepenuhnya menahan diri untuk tetap menjadi desa dengan cantik yang suci: cantik yang ia peroleh dari dalam dirinya sendiri.