Eksperimen Soderberg Lewat Unsane
Jika mengutak-atik perilaku manusia adalah sebuah kegilaan, maka Steven Soderbergh berhak menyandang predikat sebagai salah satu manusia paling gila. Alih-alih memberi jarak, ia malah mendekat dan menguliti kepribadian ganjil manusia serta mengabadikannya ke dalam sebuah film. Saat menonton filmnya, kita akan menerka apa yang sebenarnya ada di pikirannya; bagaimana bisa manusia yang mengalami keganjilan dalam hubungan antara diri dan orang-orang di sekitarnya menjadi sebuah tema yang menarik dimainkan?
Namun, rentetan absurditas itu, mungkin, masih belum mencapai apa yang dikatakan Soderbergh sebagai kegilaan yang mutlak. Seakan serigala yang masih merasa lapar walau sudah menggilas sepuluh domba, ia pun bereksperimen lebih jauh. Film teranyarnya, Unsane, ia buat dengan iPhone 7 plus; sebuah ponsel pintar.
Lewat gimmick ini, sejatinya para penonton sudah bisa membayangkan bagaimana kualitas gambar yang ditampilkan. Kurang tajam, meremang, dan adanya pembelokan cahaya di ujung-ujung frame adalah sesuatu yang tak bisa dinafikan. Tetapi, Soderberg, bersama timnya seperti Jonathan Bernstein dan James Geer, jelas berusaha menaruh cerita yang linier dengan limit yang mendera di sisi gambar. Harapannya, penonton masih mampu mencerna semesta yang dipahat oleh Soderbergh.
Berpijak pada kegandrungan Soderbergh pada tema-tema metafisik seperti identitas personal dan seksualitas, kita dengan mudah menengarai kalau Unsane pun mengangkat hal yang tidak jauh berbeda. Berpusar pada kehidupan abnormal Sawyer Valentini (Claire Foy), Unsane mengajak penonton lebih jauh mengenal ngerinya perasaan seseorang yang dikuntit, dikurung, sekaligus diruntuhkan privasinya.
Sejak awal film bergulir, abnormalitas Sawyer Valentini sudah tampak dengan percakapan tidak nyamannya dengan sang atasan. Alih-alih mengiyakan tugas untuk bepergian dalam sebuah konferensi, Sawyer menolak sambal memahat muka muram.
Setelah itu, perlahan-lahan kehidupan Sawyer dikuak dengan narasi-narasi yang tak kalah aneh. Ia bercerita ihwal dirinya yang baru saja pindah ke kota Boston, mendapatkan pekerjaan baru, dan mengganti jam makan siangnya tiap hari. Saat mendapatkan teman kencan dari situs jejaring sosial, semuanya terlihat baik-baik saja sampai sebuah ciuman membuat Sawyer tiba-tiba senewen dan berontak, lari dalam ketakutan yang sangat.
Sawyer yang sadar kalau dia sudah berada dalam jurang sakit jiwa segera memilih untuk melakukan terapi konseling di Highland Creek Behavioral Center. Naasnya, Sawyer yang asal menandatangani beberapa dokumen pascaterapi malah membawanya ke persoalan yang lebih rumit. Ia harus menjalani rawat inap demi pemulihan kejiwaannya.
Ia yang sedari awal sudah tidak menyetujui untuk dirawat pun seakan dituntun oleh keadaan untuk meledakkan percik-percik amarah, juga masalah baru. Ia bersitegang dengan Violet (Juno Temple), pasien yang tidur tepat di sebelahnya. Kungkungan dan kurungan menyebabkan dia semakin gila. Ia melawan dan berteriak, sekuat-kuatnya, sekencang-kencangnya.
Masalah Sawyer selangkah mendekati kekekalan ketika ia menjumpai David Strine (Joshua Leonard) yang ternyata adalah seseorang yang menyebabkan ia berpindah kota. David adalah pria yang menaruh hati kepada Sawyer. Terobsesi kepada Sawyer, David memaksanya untuk mengiyakan tawaran cinta darinya. Ajakan itu tidak hanya berhenti dalam bentuk verbal. Ia meneror dengan berusaha berada di tempat Sawyer berada.
Sawyer yang kian tersudut pun tidak bisa apa-apa. Protesnya untuk memperingatkan perawat di Highland Creek Behavioral Center bahwa David adalah orang yang berbahaya hanya lewat dari telinga satu ke telinga lainnya. Ia pun bagaikan mengidap klaustropobik, tetapi dari keadaan. Di titik ini, semua jalan adalah jalan buntu bagi Sawyer.
Setiap bagian demi bagian ini membuat Unsane menjelma sebagai sebuah film klaustropobik yang paripurna. Selain ketakutan kita yang terbungkus rapat seolah dalam sebuah ruangan, kita bakal dibingungkan mengenai kondisi sebenarnya Sawyer. Kadang, di ambang kegamangan, kita akan bingung membedakan bagian mana yang patut dipercaya. Kondisi Sawyer yang ganjil membawa kita untuk menyimpulkan pendapat-pendapat yang tak kalah ganjil pula. Pertanyaan-pertanyaan seperti Apakah David Strine nyata? Apakah Sawyer benar-benar dijebak? Rumah sakit macam apa sebenarnya Highland Creek Behavioral Center? bisa jadi akan berputar-putar di kepala.
Namun, unsur visual juga tak bisa dilepaskan dalam menunjang kengerian kita saat mencerna Unsane. Rasio gambar 1.56:1 yang tidak biasa justru menambah kegelisahan para penonton. Kita seolah-olah ditelusupkan oleh Soderbergh ke dalam tubuh Sawyer yang bingung, yang cemas, atau yang jengah terhadap keadaan yang terus merugikannya.
Bingkai gambar yang serbatanggung -seperti antara film jadul atau layar lebar yang tidak lebar-lebar amat- mampu dimanfaatkan dengan baik oleh Soderbergh. Hampir tidak ada gambar yang sia-sia di film ini. Bahkan, lewat pencahayaan yang kadang sangat minim, Soderbergh mampu menggambarkan rumah sakit yang suasananya membuat frustrasi bagi siapapun yang terkungkung di sana.
Sayangnya, kekuatan cerita di film ini mengendur menjelang akhir. Cerita yang dibangun dengan susah payah seakan mencelos dari tangkainya. David, Violet, beserta beberapa tokoh lain tampak tidak memeluk erat kepribadian yang selama ini mereka gali. Bisa Ada kegalauan yang tampak di mata mereka ketika mengeksekusi peran di akhir film ini, membuat beberapa penontonnya meragu akan apa yang sudah mereka percayai di awal-awal. Barangkali, konsistensi Claire dalam memerankan Sawyer hanyalah satu-satunya kunci agar Unsane tidak longsor bebas menjadi Film kelas B seutuhnya, baik cerita maupun gambar.
Akhirnya, bisa diakui kalau Soderberg kali ini cukup berhasil menantang batasan yang ia buat sendiri. Ia bahkan rela menanggalkan nama besarnya untuk sesekali berkecimpung dan menyemangati para sineas dengan peralatan terbatas bahwa dengan cerita yang tepat, alat bukan masalah, atau kasarnya, cuma amatir yang selalu mengeluhkan soal alat.