The White Helmets: Ksatria Helm Putih yang Terluka
Suara gelegar terdengar hebat tak berapa lama setelah bom pertama menghantam. Satu kompleks perumahan luluh lantak. Atap dan jendela berhamburan. Dari puing-puing bangunan, beberapa gadis kecil berhasil ditarik keluar tepat sebelum bom kedua menerjang dan meruntuhkan dinding yang tersisa. Udara mengeruh. Debu-debu beterbangan. Orang-orang berlarian seraya melafazkan takbir yang dipekikkan berulang-ulang.
Suriah sedang sakit. Pada 17 Agustus lalu, seorang anak kecil mencabik kelenjar air mata kita. Footage proses evakuasi Omran Daqneesh, 5 tahun beredar. Omran sempat terkubur rumahnya yang lantak sebelum regu penyelamat mengambil dan mendudukkannya di belakang ambulans.
Omran, 5 tahun dan tidak sedikit pun punya memori tentang kedamaian, termenung di sana. Tubuhnya berselimut debu putih semen. Dahinya koyak. Darah menutupi sebagian wajahnya. Namun, Omran tidak menangis. Ia sempat menyeka darah yang mengering di pipinya. Tapi, air mata tak terbit dari kelopak matanya. Ia hanya terdiam. Mungkin, kedukaan, juga kegembiraan, tak pernah benar-benar menghampirinya.
Lara, barangkali adalah kata yang bisa menerjemahkan apa yang terjadi di Suriah lima tahun terakhir. Peperangan telah menghancurkan apa saja: bangunan, persaudaraan, hingga kehidupan. Sedikitnya, 400.000 orang telah kehilangan nyawa dan jutaan lainnya menggelandang nasib di pelbagai penjuru dunia. Sementara, mereka yang tertinggal di Suriah menunggu giliran ditemui oleh kematian. Dirudal pesawat-pesawat yang melintas atau dirundung kelaparan. Dan dari sana kita tau bahwa tanah Suriah telah basah oleh air mata dan darah.
Di tengah kehancuran itu, sekelompok penduduk menolak untuk terus dijadikan sasaran tembak. Mereka adalah para pemberani yang mendedikasikan diri sebagai relawan dan bertugas menyelamatkan siapa saja yang menjadi korban bom. Orang-orang ini mudah diidentifikasi karena selalu mencangking atau mengenakan helm putih yang menandakan identitas mereka: Syria Civil Defense atau The White Helmets.
The White Helmets beranggotakan sekitar 2900 orang yang tersebar di 120 lokasi di seluruh Suriah. Tugas mereka ialah merespon cepat pengeboman atau peledakan dengan tiba di lokasi ledakan dan menyelamatkan siapa pun yang terjebak di sana.
Sutradara Orlando Von Einsidel (We Are Fire, Virunga) membawa persona kehidupan para relawan The White Helmets dalam sebuah film dokumenter berjudul sama. Cerita White Helmets dituturkan melalui lisan Khaled Farah, Abu Omar, dan Mohamed Farah, tiga relawan yang tinggal di Aleppo.
Setiap pagi, Khaled Farah berangkat menuju pusat White Helmet Distrik Anshari bersama Abu Omar, White Helmet lain. Dan setibanya di Distrik Anshari, mereka bertemu anggota lain, termasuk Mohammed Farah yang pernah bergabung dengan milisi pemberontak.
Film The White Helmets memperlihatkan bagaimana lika-liku para relawan ini saat bekerja. Terkadang, seperti tampak di awal film, mereka harus membatalkan sarapan ketika suara pesawat pengebom terdengar, lalu segera berlari menuju tempat bom dijatuhkan. Kadang, mereka harus menggali selama lebih dari 16 jam tanpa istirahat karena tubuh korban sangat sulit untuk ditemukan dan dikeluarkan.
Ketika melakukan evakuasi, White Helmets memiliki tugas untuk memastikan nasib setiap korban yang tinggal di tempat pengeboman: apakah mereka selamat atau tewas. Berbekal tugas itu, mereka menyisir tiap jengkal dinding yang ambruk dengan cepat dan teliti. Relawan, kemudian, akan menemukan tubuh-tubuh korban yang penuh luka dan debu yang harus mereka keluarkan, baik dalam keadaan bernyawa atau tidak.
Banyaknya serangan udara dan bom membuat tiap evakuasi adalah sebuah kisah. Ada kisah tentang anak kecil, yang masih belum mengerti benar arti perang, menjadi yatim piatu seperti Omran Daqneesh. Ada kisah seorang ayah yang berpisah jiwa dengan anak lelakinya kala keduanya tengah berpelukan. Ada juga kisah tentang bayi yang tak lagi bisa menetek ibunya yang telah menjadi mayat.
Di tengah kepungan kisah itulah White Helmets bertugas. Nuansa tempat pengeboman yang penuh duka membuat segalanya tak mudah bagi White Helmets. Bertemu dengan mayat-mayat sangat memperngaruhi psikologis mereka. Khaled, misalnya, tak bisa menghalau pikiran tentang keluarganya ketika ia memandangi korban yang tewas. Ia membayangkan mereka, korban, adalah keluarganya sendiri. Dan bayangan kehilangan keluarga membuat ia merasai kehadiran rasa pedih yang tak terpermanai.
Bayangan itu begitu mempengaruhi, terlebih ketika mereka mereka, para relawan, harus meninggalkan keluarganya lebih jauh. Seperti kala mengikuti pelatihan penyelamatan di Turki. Di satu sisi, mereka mungkin merasakan ketenangan karena wilayah Turki tidak terkena imbas perang. Dalam film, Khaled menyitir halus soal ini. Ia menyebut betapa sebuah garis perbatasan bisa berarti sangat banyak. Dari bibir Khaled, kontradiksi Turki yang aman dan tanpa ada perang, penghancuran, serta perusakan dipertentangkan dengan Suriah yang tiap hari harus kehilangan nyawa. “Hanya melewati sebuah garis batas, situasi bisa sangat berubah”, katanya.
Namun, di sisi lain, Khaled, Abu Omar, dan Mohamed Farah, serta relawan lain juga harus menghadapi fakta bahwa keluarga mereka yang berada di Suriah bisa menjadi korban keganasan perang. Masa-masa pelatihan bertepatan dengan meningkatnya intensitas kengerian peperangan. Serangan udara meningkat menjadi dua ratus kali penyerangan dalam sehari. Bom-bom semakin canggih dan memiliki daya bunuh yang semakin besar. Hampir setiap hari, para relawan mendengar kabar ihwal jumlah korban tewas yang kian bertambah. Potensi keluarga mereka untuk menjadi korban pun kian meninggi.
Dan ketika akhirnya kabar duka itu datang, mereka mau tak mau harus tegar. Pertama-tama, kabar duka tentang keluarga mereka datang berupa berita tewasnya Marwan dan Ahmad Daboul, dua orang anggota White Helmets. Kepedihan itu seketika bersambut pelafalan Ummul Qur’an yang dikirimkan pada mereka yang tewas. Dalam adegan lain, kabar duka tampak mengepung Abu Omar. Wajahnya pucat saat tahu kompleks perumahannya dihajar bom. Di tengah syok, ia menelepon dan mencari kabar ihwal adik dan anaknya di Aleppo.
Keduanya, akhirnya, diketahui selamat. Tapi itu tidak membuat Abu Omar gembira. Dengan suaranya yang parau, ia berkata, “Tapi, kawan, apa yang sebenarnya membedakan anakku atau orang lain (yang menjadi korban)? Bukankah mereka semua sama-sama tak bersalah? Para korban itu, apa sebenarnya dosa mereka?”
Di saat-saat itulah, para relawan terlihat tak ubahnya penduduk Suriah lain. Mereka menangis, remuk, dan mengecap luka. Mereka harus menghadapi kenyataan bahwa laku ksatria mereka tidak serta-merta menjamin keselamatan orang terdekat mereka, bahkan jiwa mereka sendiri.
Walaupun demikan, tidak sedikit kisah yang membuat para White Helmets mencecap bahagia. Salah satunya adalah ketika mereka, setelah 16 jam penuh peluh membereskan puing-puing, mendengar suara tangis bayi dari bawah reruntuhan. Di sana, seorang bayi yang belum genap seminggu berhasil bertahan hidup meski dihimpit dua tembok yang rubuh. Evakuasi sang bayi begitu menyentuh sehingga mereka menjuluki bayi itu dengan sebutan Miracle Baby. Pertemuan kembali dengan Miracle Baby setelah 1,5 tahun tergambar dalam film ini dan menjadi sebuah haru lain yang mengingatkan para White Helmets atas kebahagiaan kecil yang sempat mereka selamatkan.
Dalam The White Helmets, kita mempelajari bahwa setiap evakuasi adalah pertarungan melawan kepedihan. Seperti halnya pertarungan, kadangkala ia dimenangkan, kadangkala ia berujung kekalahan. Sejak 2013, lebih dari 130 orang White Helmets harus terbunuh saat bertugas. Namun, dalam jangka waktu yang sama, lebih dari 58.000 jiwa diselamatkan. Jika soal nyawa dapat dihitung secara statistik, White Helmets bisa disebut lebih banyak menyelamatkan daripada musnah. Mereka lebih banyak menang daripada kalah. Tapi, apa benar begitu? Apa benar dalam peperangan ada menang dan kalah?
Mungkin parafrase dari Abu Omar bisa menjawabnya. Dalam sebuah fragmen, ia berkata, “Semangat juang kami sangat tinggi. Kami selalu siap menghadapi insiden seburuk apapun. Tapi, harapan terbesar kami adalah serangan udara dan pengeboman ini dapat berhenti.”
Abu Omar benar. Semangat mereka untuk menyelamatkan siapapun sangat tinggi. Tapi, lebih dari itu, mereka ingin peperangan ini segera berhenti. Menang dan kalah dalam peperangan hanya rekor yang dikejar para pengadu kompetensi menjagal. Bagi Abu Omar dan penduduk Suriah lainnya, yang mereka perlukan hanyalah sebuah negara bisa ia rasakan kembali sebagai rumah.
Post Scriptum: Tahun lalu, pasukan The White Helmets masuk ke dalam nominasi Nobel Perdamaian. Namun, mereka tidak memperolehnya karena nobel akhirnya diberikan pada Presiden Kolombia, Juan Manuel Santos. Pada tahun ini, film The White Helmets dinominasikan untuk meraih Oscar dalam kategori film dokumenter pendek terbaik.
80 Comments
nia nastiti
Kelenjar air mataku tercabik Kak :'(
Meidiawan Cesarian Syah
tunggu sampai kamu nonton filmnya, kak 🙁